Pengamat: Aksi Sinetron Tiru Squid Game Merugikan Indonesia

CNN Indonesia
Selasa, 26 Okt 2021 16:50 WIB
Pengamat budaya pop menilai aksi sinetron meniru produk asing seperti Squid Game sejatinya merugikan industri ekonomi kreatif Indonesia.
Pengamat budaya pop menilai aksi sinetron meniru produk asing seperti Squid Game sejatinya merugikan industri ekonomi kreatif Indonesia. (Arsip Netflix via Twitter @netflixkr)

Hikmat menilai penjiplakan sudah sering terjadi di industri hiburan sejak dekade 1960-an. Namun saat ini penjiplakan sering mendapat sorotan karena penegakan Undang-Undang Hak Cipta yang semakin tegas.

Namun, Hikmat menilai penjiplakan sebuah karya juga harus dibuktikan secara ekonomi. Ia melihat seringkali pihak yang merasa karyanya ditiru justru tidak dirugikan secara ekonomi.

Hal tersebut juga berlaku dalam kasus sinetron yang dituding menjiplak Squid Game. Menurut Hikmat, pihak Squid Game maupun Netflix tidak dirugikan secara ekonomi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Apakah Squid Game pendapatannya berkurang karena ada yang meniru di Indonesia? Dugaan saya tidak. Itu semata karena dia [sinetron Indonesia] ingin menempel pada produk yang laku [Squid Game] untuk mengambil untung sendiri," ujar Hikmat.



Hal serupa juga disampaikan Praktisi Hukum Noviar Irianto. Menurutnya, pihak Squid Game tidak dirugikan dengan sinetron tersebut karena jangkauan penontonnya yang tidak luas.

"Saya rasa tidak ada kerugian [bagi Netflix]. Kalau dia [Squid Game] melihat platformnya cuman di Indonesia saja. Kemudian juga produksinya yang tidak totalitas," kata Noviar kepada CNNIndonesia.com, dalam kesempatan terpisah.

Menurut Noviar, terdapat dua hal yang terjadi dalam pelanggaran hak cipta dalam karya audio visual.

Pertama karya tersebut melebihi karya sebelumnya, namun hal itu dinilai sulit terjadi. Kedua, karya tersebut tidak bagus sehingga akan menguntungkan pihak yang memiliki ide dasar.

Noviar juga mengatakan tidak banyak pihak yang mengajukan gugatan pelanggaran hak cipta audio visual. Hal itu disebabkan karena pemilik cerita memikirkan perspektif bisnis.

"Jadi sebenarnya di praktik hukum, jarang ada yang melaporkan dugaan plagiat di luar karya tulis ilmiah. Sementara kalau film, mereka cenderung memikirkan perspektif bisnis meskipun sebenarnya bisa masuk ke Undang-Undang Hak Cipta," kata Noviar.

(fby/end)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER