Ambil contoh segala peralatan para Ghostbuster, tumpukan buku satu baris, pemanggang roti, iklan Stay Puft Marshmallow, hingga pengambilan gambar ketika Ecto-1 keluar dari garasi.
Termasuk, cara Jason Reitman menggunakan alur cerita juga narasi dalam Afterlife yang mengadopsi premis dalam dua film asli.
Seperti keberadaan adegan penjara, kemudian candaan-candaan ice-breaker, hingga kalimat-kalimat ikonis yang ada pada film 1984.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua itu diulang kembali dan jelas mengingatkan akan momen Ghostbusters pada dekade '80-an, namun dengan kualitas gambar yang lebih baik dan tidak terasa menyaksikan film daur-ulang doang.
Meski begitu, Jason Reitman rasanya terlalu fokus untuk membangkitkan kenangan di masa lalu beserta aspek visualnya alih-alih memperbaiki kualitas cerita juga penceritaan kisah Ghostbusters.
Padahal, Afterlife bisa berpeluang lahir sebagai sebuah film waralaba Ghostbusters dengan kualitas sinematik yang baru. Bukan hanya sekadar film yang dibuat untuk mengenang masa lalu dan kepentingan bisnis semata.
Hal itu akan terasa ketika Afterlife dijajal oleh mereka yang amatir akan Ghostbusters. Ceritanya terasa lemah, 'garing', banyak hal yang mengundang banyak tanya, hingga terasa membosankan. Cerita baru seru ketika sudah mulai masuk babak konflik dan resolusi.
Ghostbusters: Afterlife pun tampaknya menjadi uji coba Columbia Pictures (Sony Pictues) dan Ghost Corps untuk melihat respons pasar akan obsesi mereka: membuat semesta Ghostbusters.
Sebenarnya sah-sah saja memiliki obsesi membuat semesta, apalagi ide Ghostbusters III yang dipikirkan oleh Ivan Reitman dahulu kala sudah membahas soal semesta paralel.
Belum lagi tren yang tengah hit di kalangan studio-studio besar Hollywood, memiliki film waralaba dengan banyak dunia dimensi. Segala cerita film dibuat versi semestanya.
Namun penggarapan semesta dari sebuah waralaba itu semestinya juga mempertahankan kualitas cerita dari film.
Bukan hanya sekadar menyambung-nyambungkan apa yang sudah ada, tetapi bagaimana membuat penonton amatir sebagai pasar baru bisa ikut menyusuri petualangan tanpa harus tersesat apalagi enggan melanjutkan.
Penonton saat ini pun berbeda dibanding tiga dekade lalu. Kini penonton lebih kritis dan akan benar-benar memperhatikan apakah sebuah film cukup layak untuk mereka tonton di bioskop.
Mengingat pemikiran "toh semua akan ada di streaming pada akhirnya" yang kini sudah menjamur di kalangan pencinta film, semestinya pihak studio juga sineas sudah waktunya untuk benar-benar memperhatikan kualitas cerita film waralaba dan bukan cuma gimik demi cuan belaka.