"Biayanya berapa, yang tahu biayanya berapa itu ahlinya, nanti kita evaluasi, jadi intinya kita terbuka, kita ingin terbuka, memang [masih] ada beberapa hal belum terselesaikan," kata Adi.
Selanjutnya, dalam pasal 22 PP Nomor 56 Tahun 2021 disebutkan bahwa LMKN membangun SILM paling lama dua tahun sejak Peraturan Pemerintah itu diundangkan.
Sementara itu sekelompok musisi yang tergabung dalam Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI) sebelumnya menuntut pemerintah membatalkan PP Nomor 56 Tahun 2021 tanggal 30 Maret 2021, tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AMPLI juga menuntut pembatalan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Tuntutan tersebut diajukan lantaran mereka menganggap pelaksanaan dari aturan itu tidak transparan, terutama soal penunjukan pihak ketiga dalam pengelolaan juga penarikan royalti musik.
Mereka juga mendorong pemerintah untuk membangun sendiri Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) serta Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM) bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham selaku regulator pengelolaan hak cipta.
"Ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 telah menyerahkan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi," kata Indra Lesmana dalam jumpa media pada Senin (20/12).
AMPLI menilai penunjukan PT LAS dituding sarat akan kepentingan dan tanpa pembukaan tender. Apalagi sejumlah laporan menyebut bahwa komisioner LMKN juga menjadi pemilik saham PT LAS.
Korporasi tersebut juga disebut menjalankan peran pelaksana harian dari LMKN untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti yang kebijakannya diputuskan tanpa melibatkan musisi dan pencipta lagu untuk persetujuan.
(nly/end)