Jakarta, CNN Indonesia --
Dokumenter telah ada sejak awal film atau lebih dari 125 tahun lalu. Mulai dari klip-klip kurang dari 1 menit hingga kini berdurasi sekitar 80 menit dan bisa disaksikan banyak orang di layanan streaming.
Dokumenter juga awalnya digunakan untuk menampilkan pemandangan seperti yang dilakukan dua bersaudara asal Prancis, Auguste dan Louis Lumiere sebelum 1900, seperti dilansir Globians Film Fest beberapa tahun lalu.
Kemudian digunakan sebagai alat propaganda, seperti Triumph of the Will yang 'dipesan' Adolf Hitler untuk agenda Nazi. Agenda serupa juga dilakukan Amerika dan Uni Soviet ketika perang dingin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini, dokumenter turut menjadi sarana menguak permasalahan sosial hingga kriminal yang terjadi di masyarakat umum, seperti kisah di balik Boeing saat menangani masalah dua pesawatnya yang jatuh dalam film Downfall: The Case Against Boeing.
Contoh dokumenter terbaru lainnya adalah Tinder Swindler yang mengangkat laporan investigasi media Norwegia pada 2019 tentang sejumlah perempuan yang jadi korban penipuan seorang pria lewat aplikasi kencan, Tinder.
 Downfall: The Case Against Boeing merupakan film dokumenter yang menguak cara Boeing menangani masalah 2 pesawatnya yang jatuh dalam waktu berdekatan. (Netflix) |
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dokumenter adalah dokumentasi dalam bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna khusus agar menjadi alat penerangan dan alat pendidikan.
Akademisi Film Institut Kesenian Jakarta Satrio Pamungkas menyatakan film dokumenter biasanya menampilkan sudut pandang baru dari sejarah yang diketahui masyarakat umum.
"Dokumenter itu menawarkan cara pandang lain dan membuka cara berpikir lain dari cara pandang umum," kata Satrio kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
"Kalau dokumenter memperlihatkan cara pandang yang sama dengan umum, itu tidak akan menjadi dokumenter menarik," tuturnya.
Lanjut ke sebelah...
Pandangan serupa telah diutarakan Sejarawan Robert Rosenstone bahwa dokumenter merupakan upaya membuka cara pikir berbeda dari masa lalu. Penilaian itu dikutip Desmond Bell dalam buku Documentary Film and History.
"Tujuannya bukan untuk menceritakan segalanya, tetapi untuk menunjukkan peristiwa masa lalu, atau untuk berbicara tentang sejarah, atau untuk menunjukkan mengapa sejarah harus bermakna bagi orang-orang di masa sekarang," tulis Desmond mengutip Robert.
Sehingga, potongan-potongan gambar atau klip yang ditampilkan dalam film dokumenter tidak selalu menawarkan akses secara langsung dan tepat ke masa lalu.
Bisa dari klip atau foto yang memang diambil ketika peristiwa sejarah atau terjadi di masa lalu, mengunjungi dan meminta keterangan saksi sejarah, atau dengan 'menghidupkan kembali' sejarah di masa kini.
Film dokumenter, tulis Desmond Bell, dibangun dengan prinsip montase, yakni percampuran unsur beberapa sumber untuk melukiskan gagasan yang berkaitan.
"Tidak peduli seberapa teliti penelitian sejarah, dengan tidak adanya kesaksian yang terekam atau gambar, kita hanya bisa mewakili masa lalu dengan membuat serangkaian asumsi tentang hal itu," tulis Desmond.
Pada akhirnya, film dokumenter adalah bidang inovasi kreatif menarik karena memiliki banyak elemen penting dalam pembuatannya, terutama sisi kreatifnya, seperti pengumpulan gambar, arsip, pengisi suara, terutama urutan rekonstruksi.
"Dalam mengolah kembali sumber daya naratif ini sebagai alat merepresentasikan dan menginterogasi sejarah, saya yakin pembuatan film dokumenter yang kreatif juga melakukan sejarah penting," tulis Desmond Bell.
Penjelasan lebih lanjut mengenai film dokumenter, mulai dari alasan sineas membuat dokumenter, proses pembuatannya, hingga nasib dokumenter di Indonesia akan dibahas lebih lanjut dalam Fokus edisi Februari 2022: Secuplik Cerita Film Dokumenter.