Jakarta, CNN Indonesia --
Popularitas film Iran di kancah global merupakan suatu hal yang tak terbantahkan. Sederet film dari era '90-an hingga sekarang silih berganti hadir dan berjaya di festival internasional yang bergengsi.
Capaian itu bukan sebuah kebetulan atau suatu hal yang bisa disulap secara instan. Kualitas wahid film Iran terbentuk dari usaha membangun ekosistem film yang bermutu, baik oleh individu maupun secara kolektif.
CNNIndonesia.com berbincang dengan akademisi perfilman Institut Kesenian Jakarta, Satrio Pamungkas, soal rahasia kegemilangan Iran dalam membuat film. Mengingat secara skala pasar, negara itu tidak termasuk 20 besar dunia menurut Motion Picture Association seperti yang disandang Indonesia sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Satrio, hal paling pertama yang membuat film Iran begitu spesial hingga kerapkali memenangkan penghargaan di berbagai ajang perfilman adalah gaya dan bentuk film yang khas.
"Secara keseluruhan, gaya dan bentuk film Iran yang saya lihat, secara dominan itu menampilkan sebuah realisme sosial," kata Satrio.
"Sangat sedikit sekali, mungkin, mereka meminjam atau mengambil dari sebuah imajinasi kreator. Tapi [imajinasi] itu pasti ada, dalam pengembangan cerita pasti ada," sambungnya.
Identitas itu kemudian didukung dengan kemampuan intelektual para pembuat film. Hal itu mempengaruhi cara pandang mereka terhadap suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat.
Satrio mengatakan bahwa film Iran acap kali menawarkan sebuah cerita yang menghadirkan sudut pandang tak populer. Unsur kebaruan ini yang kemudian menjadi identitas yang menarik sehingga film Iran diakui kualitasnya secara global.
"Iran itu negara muslim yang berpikirnya sudah intelektual," kata Satrio.
 Children of Heaven (1997) mengangkat ide yang sederhana dan begitu dekat: perjuangan seorang kakak membahagiakan adiknya. (dok. Kanun parvaresh fekri (The Institute for the Intellectual Development of Children & Young Adults)/New Films International via IMDb) |
"Dia melihatnya bukan lagi cinta dengan suatu hal yang dianggap populer. Cara berpikirnya itu sudah post-modern sehingga sudut pandangnya dan intelektualitasnya berbeda," lanjutnya.
Salah satu sutradara yang mempunyai gaya khas dalam bercerita, menurut Satrio, adalah Majid Majidi. Sang sutradara kerap menggarap film dengan cerita tentang kehidupan keluarga muslim dan anak-anak dari kelas ekonomi bawah.
Majidi juga menyajikan gambaran bagaimana seorang Muslim melihat cinta. Salah satu filmnya, Children of Heaven (1997), mengangkat ide yang sederhana dan begitu dekat: perjuangan seorang kakak membahagiakan adiknya.
Namun, pengambilan sudut pandang yang berbeda membuat film itu terasa spesial. Children of Heaven bahkan diakui secara internasional karena menjadi salah satu nominasi Oscar 1999 kategori Best Foreign Language.
"Hal demikian merupakan pergerakan sosial yang menurut saya melalui film dapat diwakilkan oleh sutradara. Ini kan indah banget, ya," ungkap Satrio.
Selain itu, kemajuan film Iran juga terbantu dengan intervensi pemerintah yang moderat. Satrio menggambarkan andil pemerintah Iran dalam dunia film "tidak terlalu banyak, tetapi tidak terlalu melepas".
Kesadaran Diri
Begitu pula dengan kehadiran lembaga sensor yang umumnya jadi momok bagi berbagai pembuat film, terutama di negara-negara Timur. Meski dikenal cukup ketat, sensor film di Iran tak terlalu berdampak bagi para pembuat film.
Menurut Satrio, sutradara umumnya sudah sadar dengan keberadaan sensor sehingga dapat mengukur batasnya sendiri. Hal ini tentu terbantu dari intelektualitas orang-orang di balik pembuatan film.
Satrio yang kerap menganalisis berbagai naskah film, melihat penyensoran diri sendiri oleh para sineas sudah tergambar dari sejak dalam bentuk naskah. Ia melihat dari banyak cerita film Iran, tak ada yang perlu dibuang alias disensor.
"Cara berpikir mereka sudah maju. Mereka tidak usah disensor pun akan menyensor sendiri," kata Satrio. "Nah itu yang membedakan Iran dengan kita, mereka sudah sadar betul,"
Di sisi lain, Mohammad Reza Ebrahimi, Cultural Counsellor Kedutaan Besar Iran untuk Indonesia, dalam kesempatan berbeda menyebut di Iran tidak ada badan khusus sensor.
Meski begitu, ada sebuah dewan yang terdiri dari sejumlah orang yang berpengalaman dalam produksi film. Mereka akan menentukan standar nilai untuk berbagai karya gambar bergerak.
 Mohammad Reza Ebrahimi, Cultural Counsellor Kedutaan Iran untuk Indonesia. (CNN Indonesia/Naely Himami) |
"Standar yang digunakan adalah nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam," kata Ebrahimi.
"Jika dirasa film itu menginjak-injak nilai kemanusiaan, maka tentunya di situ mereka memiliki hak untuk memberhentikan atau tidak memberikan izin atau tidak menayangkan film tersebut." lanjutnya.
"Meski demikian ada film-film atau program komedi yang digunakan untuk mengkritik pemerintahan itu tetap jadi bahan evaluasi, jadi layak tampil, artinya tidak memotong secara sepenuhnya hal-hal yang tidak sesuai dengan pemerintah," katanya.
"Jadi masih diberikan kebebasan berpendapat, bersuara, dan mengungkapkan hal yang dirasa itu tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah itu sendiri, itu bisa menjadi bahan evaluasi pemerintah." lanjutnya.
Selain itu, kata Satrio, sineas Iran disebut tidak sungkan untuk menunjukkan identitas budaya mereka, termasuk membawa unsur agama dalam film. Misalnya dengan "Ya Allah" atau "Allahuakbar" atau mengenakan atribut agama dalam pakaian dan sejenisnya.
Satrio menyebut masyarakat film Iran "sudah sangat jujur" dan kejujuran itu hadir dalam karya mereka. Termasuk, bila pakaian perempuan yang ditampilkan masih menunjukkan rambut yang notabenenya kerap dianggap 'kurang syari'.
 The Salesman (2016). Kata Satrio, sineas Iran disebut tidak sungkan untuk menunjukkan identitas budaya mereka, termasuk membawa unsur agama dalam film. (dok. ARTE/Arte France Cinéma/Doha Film Institute/Farhadi Film Production/Memento Films Production/Memento Films via IMDb) |
"Sehari-hari mereka seperti ini ya mereka seperti ini, karena cara berpikir mereka sudah berbeda," kata Satrio.
Kebebasan sutradara dalam menggarap sebuah film di Iran juga tak lepas dari sikap para investor. Dari segi bisnis, para investor menyadari bahwa film merupakan hak intelektual dari kreator.
Satrio mengatakan bahwa ekosistem film di Iran sudah mempunyai ruang bisnis yang kuat dan berpihak kepada sutradara. Para pembuat film kemudian dapat menuangkan idenya secara bebas tanpa perlu khawatir dengan adanya intervensi dari pemodal.
Kondisi ini merupakan salah satu sinyal positif dari sebuah industri film yang sehat. Sebab, masih banyak ditemukan para pemodal yang ikut campur dalam proses kreatif sebuah film.
"Jadi ketika mereka buat itu ya sudah, itu memang sudah hak intelektual kreatif si pembuat film. Tidak usah diganggu gugat," ungkap Satrio.
"Secara intelektualitas, mereka [Iran] sudah kuat di situnya. Sehingga ruang bisnisnya mereka juga sudah kuat, jadi untuk mikir [sensor] ini sudah hal biasa. Jadi pemodalnya, kreatornya, penontonnya, pemerintahnya, semua sudah terintelektual." kata Satrio.