Menurut Satrio, sutradara umumnya sudah sadar dengan keberadaan sensor sehingga dapat mengukur batasnya sendiri. Hal ini tentu terbantu dari intelektualitas orang-orang di balik pembuatan film.
Satrio yang kerap menganalisis berbagai naskah film, melihat penyensoran diri sendiri oleh para sineas sudah tergambar dari sejak dalam bentuk naskah. Ia melihat dari banyak cerita film Iran, tak ada yang perlu dibuang alias disensor.
"Cara berpikir mereka sudah maju. Mereka tidak usah disensor pun akan menyensor sendiri," kata Satrio. "Nah itu yang membedakan Iran dengan kita, mereka sudah sadar betul,"
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Mohammad Reza Ebrahimi, Cultural Counsellor Kedutaan Besar Iran untuk Indonesia, dalam kesempatan berbeda menyebut di Iran tidak ada badan khusus sensor.
Meski begitu, ada sebuah dewan yang terdiri dari sejumlah orang yang berpengalaman dalam produksi film. Mereka akan menentukan standar nilai untuk berbagai karya gambar bergerak.
![]() |
"Standar yang digunakan adalah nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam," kata Ebrahimi.
"Jika dirasa film itu menginjak-injak nilai kemanusiaan, maka tentunya di situ mereka memiliki hak untuk memberhentikan atau tidak memberikan izin atau tidak menayangkan film tersebut." lanjutnya.
"Meski demikian ada film-film atau program komedi yang digunakan untuk mengkritik pemerintahan itu tetap jadi bahan evaluasi, jadi layak tampil, artinya tidak memotong secara sepenuhnya hal-hal yang tidak sesuai dengan pemerintah," katanya.
"Jadi masih diberikan kebebasan berpendapat, bersuara, dan mengungkapkan hal yang dirasa itu tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah itu sendiri, itu bisa menjadi bahan evaluasi pemerintah." lanjutnya.
Selain itu, kata Satrio, sineas Iran disebut tidak sungkan untuk menunjukkan identitas budaya mereka, termasuk membawa unsur agama dalam film. Misalnya dengan "Ya Allah" atau "Allahuakbar" atau mengenakan atribut agama dalam pakaian dan sejenisnya.
Satrio menyebut masyarakat film Iran "sudah sangat jujur" dan kejujuran itu hadir dalam karya mereka. Termasuk, bila pakaian perempuan yang ditampilkan masih menunjukkan rambut yang notabenenya kerap dianggap 'kurang syari'.
![]() |
"Sehari-hari mereka seperti ini ya mereka seperti ini, karena cara berpikir mereka sudah berbeda," kata Satrio.
Kebebasan sutradara dalam menggarap sebuah film di Iran juga tak lepas dari sikap para investor. Dari segi bisnis, para investor menyadari bahwa film merupakan hak intelektual dari kreator.
Satrio mengatakan bahwa ekosistem film di Iran sudah mempunyai ruang bisnis yang kuat dan berpihak kepada sutradara. Para pembuat film kemudian dapat menuangkan idenya secara bebas tanpa perlu khawatir dengan adanya intervensi dari pemodal.
Kondisi ini merupakan salah satu sinyal positif dari sebuah industri film yang sehat. Sebab, masih banyak ditemukan para pemodal yang ikut campur dalam proses kreatif sebuah film.
"Jadi ketika mereka buat itu ya sudah, itu memang sudah hak intelektual kreatif si pembuat film. Tidak usah diganggu gugat," ungkap Satrio.
"Secara intelektualitas, mereka [Iran] sudah kuat di situnya. Sehingga ruang bisnisnya mereka juga sudah kuat, jadi untuk mikir [sensor] ini sudah hal biasa. Jadi pemodalnya, kreatornya, penontonnya, pemerintahnya, semua sudah terintelektual." kata Satrio.
(frl/end)