TILIKAN

Tren Penonton Pascapandemi Berubah, Film Indonesia Harus Bagaimana?

CNN Indonesia
Minggu, 03 Jul 2022 11:45 WIB
Industri film Indonesia mengalami situasi unik begitu pandemi sudah mulai terkendali, salah satunya adalah tren penonton yang dianggap berubah.
Ilustrasi. Dua tahun pandemi yang memaksa bioskop tutup, film layar lebar ditunda hingga beralih ke layanan streaming, dinilai mengubah kebiasaan dan tren penonton film di Indonesia. (CNN Indonesia/Bisma Septalismaa)

"Budayanya sudah berubah. Mereka bahkan sekarang ada bahasa buat menunggu tayang di streaming saja, apalagi filmnya bisa di-pause, skip, bisa diulang, bisa milih makanan sesuai yang dimau," katanya.

Kondisi ini semakin membuat studio mesti pintar-pintar meracik film dan memainkan momentum untuk bisa dilirik penonton. Salah satu yang dianggap Satrio berhasil memainkan formula itu adalah KKN di Desa Penari.

"Racikannya mungkin obrolan yang disukai, lalu dikemas dengan memainkan identitas sosial masyarakat Indonesia, dicampur lagi dengan sudut pandang pemikiran yang mudah diterima. Jadi kena juga semuanya," kata Satrio soal KKN di Desa Penari.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, fenomena Ngeri-ngeri Sedap dan Satria Dewa Gatotkaca menjadi pembelajaran baru bagi industri film Indonesia pascapandemi. Satrio menilai faktor kedekatan cerita atau film dengan penonton jadi hal yang patut dipertimbangkan.

Misalnya dalam kasus Ngeri-ngeri Sedap. Cerita yang mengangkat kehidupan keluarga, juga perantau yang jauh dari keluarga, dianggap lebih 'relate' dengan penonton dibanding fantasi macam Satria Dewa Gatotkaca meski digarap sutradara terkenal atau diangkat dari budaya Indonesia.

"Harusnya bisa mainkan isunya dulu, kayak KKN isu itu udah berjalan di masyarakat kan. Lalu dimanfaatkan momentum itu," kata Satrio. "Orang-orang itu datang ke bioskop udah enggak mau lagi cari capek buat melihat suatu hal yang imajinatif. Akhirnya mereka menonton Ngeri-Ngeri Sedap, kesenangan itu lho,"

"Gatotkaca itu mungkin secara sosial identitas kuat ya, tapi secara pleasure kalah sama Ngeri-Ngeri Sedap. Dan orang itu datang ke bioskop ingin tertawa, ingin hiburan. Kesenangan itu yang tidak dijual Gatotkaca," katanya.

Ngeri Ngeri Sedap (2022)Beberapa film lainnya yang semula diprediksi tak mendapat banyak penonton justru mendulang box office yang lumayan baik, seperti Ngeri-ngeri Sedap yang berhasil menjual 2,5 juta tiket. (dok. Imajinari via YouTube)

Variabel Pembatas

Meski tergambar bahwasanya film laris pascapandemi mestilah memainkan kualitas cerita, memperhatikan momentum, hingga kedekatan dengan masyarakat, fenomena laris manis seperti KKN di Desa Penari dipandang belum pasti terjadi setiap kali formula itu dimainkan.

"Tidak ada yang pasti di bawah langit ini, apalagi dalam industri film. Kalau [bujet] Rp24 miliar pasti laku? Enggak juga. Rp30 miliar-an membuat Gundala juga tidak mendapat penonton 7 juta seperti yang diharapkan," kata pengamat film dan budaya populer Hikmat Darmawan dalam kesempatan terpisah.

"Matematikanya pasar kita itu tidak memungkinkan Indonesia punya film saat ini bisa ditonton lebih dari 15 juta, 10 juta aja rada mustahil," lanjutnya.

"Bahkan, itu masih banyak yang enggak percaya pada saat [KKN di Desa Penari] sudah hampir 7 juta. Kenapa? Ketersediaan layar dan ketersebaran bioskop di seluruh Indonesia itu belum bisa lebih dari itu," kata Hikmat yang mengatakan ini ketika KKN di Desa Penari sudah menembus angka lebih dari 9,2 juta penonton.



Sehingga, menurut Hikmat, formula apapun yang digunakan oleh studio dalam membuat film mereka laris manis akan memiliki variabel pembatas berupa infrastruktur ekshibisi perfilman Indonesia.

Menurut data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia yang dilaporkan pada Mei 2022, jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 2.088 layar. Sebanyak 65 persen di antaranya adalah milik jaringan Cinema XXI, baru kemudian ada jaringan CGV, Cinepolis, dan independen.

Padahal pada 2019 diberitakan, angka 2.000 layar adalah titik penting bagi industri film Indonesia. Hal ini lantaran jumlah tersebut menjadi batas psikologis yang memungkinkan Indonesia akan memiliki penonton film menyamai Korea Selatan, 10 juta tiket terjual per film.

Bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (16/9/2021). CNN Indonesia/Andry NovelinoMenurut data Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia yang dilaporkan pada Mei 2022, jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 2.088 layar. (CNN Indonesia/Andry Novelino

Korea Selatan yang merupakan pasar internasional ke-empat terbesar di dunia terakhir kali tercatat pada 2015 memiliki 2.492 layar tersebar di seluruh penjuru Negeri Gingseng dan memiliki 18 film lokal yang menembus angka 10 juta tiket terjual.

"Apa yang menyebabkan diyakini laris, itu tidak laris? Kebanyakan bukan intrinsiknya, mutu filmnya, tetapi karena variabel di luar film alias ekstrinsiknya," kata Hikmat.

"Jadi kalau ada film modal besar terus flop, itu biasa terjadi kok. Bisa karena filmnya dapat omongan jelek, tapi ada juga kritikus semua bilang jelek tapi laris-laris saja," lanjutnya.

"Kita hanya bisa memperbaiki infrastruktur, kualitas produksi, kualitas penonton, tapi at the end of the day, tidak ada rumus pasti sebuah film laku atau enggak." kata Hikmat Darmawan.

(frl, far/end)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER