"Membantu anak yatim itu kan kepentingan sosial yang lebih besar, perjuangan para nabi, perjuangan Husein termasuk, nah dalam titik inilah bertemu," kata Ja'far.
"Mereka [para nabi dan orang mulia] memperjuangkan [kebaikan] secara kolektif, sehingga ego-ego individualisme [dipahami untuk] coba dihilangkan dulu di bulan Muharam, lebih ditekan untuk dihilangkan," lanjutnya.
"Tapi sebenarnya secara eksplisit tidak ada larangan [untuk menikah atau sunat pada bulan Muharam]," katanya. "Apalagi ada beberapa data para ulama menikah di bulan Muharam juga, jadi tidak ada [larangan]."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemahaman memaknai ruh dari berbagai peristiwa monumental di bulan Suro ini pula yang membuat masyarakat terbagi menjadi dua dalam menjalankan tradisi menyambut Muharam.
Menurut Japarudin dalam tulisannya bertajuk Tradisi Bulan Muharram di Indonesia dan terbit di Jurnal Tsaqofah & Tarikh Vol 2 Nomor 2 Juli-Desember 2017, ekspresi masyarakat di bulan Muharam atau Asyura terbagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah mereka yang menganggap 10 Muharam adalah hari yang mendatangkan berkah. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang berasumsi Muharam sebagai bulan berduka dan kesedihan.
![]() |
Reaksi antara dua kelompok ini pun berbeda. Kelompok pertama cenderung akan memperingati secara suka cita, misal saling berbagi kepada sesama, yang sebenarnya juga termasuk konsep kebaikan untuk sosial.
Sementara kelompok kedua, tulis Japarudin, "cenderung berduka dan berdoa meminta perlindungan dari Allah SWT".
"Beberapa tradisi yang ada misalnya tradisi Tabut di Bengkulu, tradisi bubur tujuh macam di beberapa daerah, tradisi Jawa berupa penyucian benda-benda keramat, atau tradisi Barzanji, maupun bubur Suro di Sunda," tulis Japarudin.
Meski sulit dibuktikan secara empirik penyebab pamali yang melekat dalam benak sebagian masyarakat saat berada di bulan Muharam, Ja'far menilai bahwa peluang keberadaan sebuah peristiwa yang mendukung konsep pamali itu mungkin benar terjadi.
"Kita perlu meneliti lebih jauh, mendalam, bisa jadi ada peristiwa tertentu yang membuat masyarakat Jawa 'alergi' melakukan tadi itu, sunatan, pernikahan, di bulan Muharam," kata Ja'far.
"Kita [baiknya] tetap memberikan ranah menghargai sebuah budaya yang telah ada, tradisi adat yang telah berjalan, tetap menghargai sebagai sebuah pengayaan terhadap peninggalan para leluhur. Tetapi kemudian kita bisa memasukkan nilai-nilai Islam [di dalam tradisi]," katanya.
(end)