Jakarta, CNN Indonesia --
Dendang musik keroncong di Kampung Tugu yang masih bertahan hingga kini sudah dimulai sejak lebih dari tiga abad lalu. Musik ini telah dimainkan dari generasi ke generasi.
Nenek moyang masyarakat Tugu ini merupakan orang-orang koloni Portugis dari Malaka saat wilayah itu jatuh ke tangan Belanda pada 1641.
Saat dibawa ke Pulau Jawa pada 1661, mereka membawa serta warisan pengetahuan budaya Portugis yang jadi identitasnya saat itu, termasuk bahasa, kebiasaan, agama, hingga instrumen juga gaya bermusik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun saat mereka dimerdekakan menjadi kaum Mardijker dan ditempatkan di rawa-rawa dekat pantai Cilincing, nenek moyang orang Tugu ini lalu beradaptasi termasuk dalam urusan musik.
Siapa sangka siapa nyana, hasil kreasi musik mereka yang disebut sebagai "keroncong" menarik minat banyak orang, termasuk kaum borjuis di Batavia, belasan kilometer sebelah barat dari rawa-rawa Tugu.
"Keroncong pertama mendapatkan perhatian di Batavia pada 1880 melalui panggung parodi dari sekelompok orang lokal yang menggunakan pakaian Eropa," tulis Lutgard Mutsaers dalam Barat Ketemu Timur: Cross-Cultural Encounters And The Making of Early Kroncong History (2014).
[Gambas:Video CNN]
"Penampilannya digelar di sebuah rumah pribadi di wilayah Eropa, Weltevreden." lanjut Mutsaers merujuk kawasan pemukiman orang-orang Eropa abad ke-19 yang kini bernama kawasan Sawah Besar dan Lapangan Banteng.
Sejak saat itu, penampilan para pemusik dari Kampung Tugu ini mendapatkan perhatian lebih dari publik, baik penduduk lokal maupun para keturunan Eropa di Hindia Belanda.
Popularitas musik keroncong kemudian membuahkan kelompok pemusik keroncong secara resmi. Konon klan Quiko adalah kelompok pertama yang menginisiasi orkes keroncong Tugu.
Josep Quiko disebut sebagai orang yang pertama kali membuat orkes keroncong di Kampung Tugu. Pada 1925, ia membentuk Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661.
 Suasana kelompok keroncong Krontjoeng Toegoe saat latihan di markas mereka di Kampung Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022).(CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Angka 1661 merujuk pada tahun pertama kedatangan keturunan Portugis di Kampung Tugu. Sementara itu, nama Tugu sendiri konon diambil dari kata Por-tugu-ese. Namun menjelang awal 1990-an, orkes ini perlahan mati suri dan dibekukan Joseph Quiko.
Meski begitu, jejak musik keroncong Tugu masih ada di sejumlah kelompok lainnya di tengah masyarakat Kampung Tugu. CNNIndonesia.com berhasil berkomunikasi dengan dua di antaranya.
Krontjong Toegoe
Klan Michiels memutuskan membentuk sebuah kelompok musik keroncong Tugu pada 1988. Mereka menilai saat itu, semangat anak muda di Kampung Tugu dalam memainkan musik keroncong khas daerah itu makin meredup.
Kelompok Krontjong Toegoe terbentuk pada 11 Juli 1988 oleh Arend Juan Michiels, yang kemudian "memaksa" anak-anaknya untuk terlibat demi melestarikan warisan budaya itu.
Lanjut ke sebelah...
"Ketika '88 kita dibentuk itu aku SMA, kelas 3. Disuruh latihan keroncong, 'Ogah lah, anak muda kok latihan keroncong," tutur Arthur James Michiels, pemain senior Krontjong Toegoe yang sekaligus generasi ke-10 dari klan ini.
"Apalagi kalau tahun '80an dulu sebelum tahun 90, keroncong itu nyaris enggak kedengaran," lanjutnya saat berbincang beberapa waktu lalu.
Bertahun-tahun berusaha bertahan, Krontjong Toegoe masih aktif hingga kini. Bukan hanya sekadar menggelar latihan tiap hari Minggu atau tawaran manggung, tetapi juga ikut berbagai festival sampai tampil di hadapan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono.
 Krontjong Toegoe masih aktif hingga kini. Bukan hanya sekadar menggelar latihan tiap hari Minggu atau tawaran manggung, tetapi juga ikut berbagai festival sampai tampil di hadapan Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Krontjong Toegoe sampai saat ini telah menelurkan lima album penuh berjudul Pesisir Utara, Madah Nusantara, Krontjong Toegoe in Blue, Romantic Souvenir, dan De Mardijkers.
"Ya saya sih berharap bahwa pertama Keroncong Tugu ini akan tetap ada. Regenerasi tetap terjadi. Tongkat estafet akan terus diberikan dari generasi ke generasi," lanjutnya sambil berkaca-kaca saat berbincang beberapa waktu lalu.
Cafrinho Keroncong Tugu
Klan Quiko masih ada untuk memainkan keroncong Tugu. Keturunan ke-delapan keluarga yang masih menggunakan nama khas Portugal ini, Guido Quiko, menginisiasi orkes Cafrinho Keroncong Tugu.
Orkes ini, kata Guido, ia bentuk pada 1991 usai terjadi penurunan minat bagi masyarakat muda Kampung Tugu dalam memainkan musik keroncong.
"Sampai kemudian, orang-orang Tugu ini kan males, kalau mau minum-minum malah mau, disuruh main keroncong ngumpul gitu susahnya minta ampun," kata Guido saat berbincang dengan CNNIndonesia.com dalam kesempatan terpisah.
Grup ini dibentuk setelah grup orkes keroncong tertua di Kampung Tugu, Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661, dibekukan pada 1988.
Grup itu bubar dan membuat anggotanya tercerai-berai. Beberapa di antaranya juga memilih bergabung dengan kelompok Krontjong Toegoe milik keluarga Michiels.
"Ya sudahlah, pada 1991 kami membentuk Cafrinho, setelah salah seorang anggota Moresco itu membentuk grup Krontjong Toegoe," kata Guido.
Pada 1994, Cafrinho Keroncong Tugu melepas lagu ikonis orisinal bertajuk Sirih Kuning. Produktivitas itu kemudian berlanjut dengan dilepasnya 1 album kompilasi berjudul Album Rekaman Keroncong Tugu.
Selain lagu-lagu berbahasa Indonesia, album kompilasi itu turut memuat tembang-tembang klasik berbahasa Kreol Tugu seperti Gato de Mato dan Jan Cagar Leite.
Selain itu, grup ini juga melepas berbagai nomor-nomor klasik yang menjadi primadona penggemar keroncong pada masa kejayaannya seperti Sarinah, Pasar Gambir, Schoon Ver van Jou, dan lagu-lagu berbahasa Melayu lainnya.