Babak Awal Keroncong Tugu, Kreasi Budak yang Merdeka di Utara Jakarta

CNN Indonesia
Minggu, 14 Agu 2022 10:21 WIB
Pewaris menceritakan asal-usul kehadiran leluhur di utara Jakarta yang kini dikenal sebagai Kampung Tugu dan menghasilkan keroncong Tugu.
Pewaris menceritakan asal-usul kehadiran leluhur di utara Jakarta yang kini dikenal sebagai Kampung Tugu dan menghasilkan keroncong Tugu. Foto: (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kampung Tugu merupakan wilayah di utara Jakarta yang melahirkan produk budaya, seperti salah satu komunitas yang menghasilkan jenis musik terkenal, yakni keroncong Tugu.

Masyarakat Kampung Tugu awalnya adalah penduduk koloni Portugis yang berasal dari Goa, India Selatan Galle, Sri Lanka, hingga Malaka di Semenanjung Malaya. Mereka kemudian dibawa Belanda ketika Malaka jatuh pada 1641.

Kala itu, Belanda membawa mereka ke Batavia dengan maksud mempekerjakan sebagai budak. Namun, mereka dimerdekakan dan disebut sebagai Mardijker, kata yang kemudian diserap menjadi merdeka dalam bahasa Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dulu kami orang Tugu ini bermukim di Malaka, menurut catatan sejarah. Ketika Malaka jatuh ke tangan Belanda pada 1641, banyak dari mereka yang ditawan dan dibawa ke Batavia untuk dijadikan budak," cerita Arthur James Michiels kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

"Lalu mereka dimerdekakan, hingga dijuluki sebagai kaum Mardijker," imbuhnya.

Arthur James Michiels merupakan keturunan kesembilan Titus Michiels, generasi pertama orang Portugis Kampung Tugu. Arthur juga anak dari Arend J. Michiel, pendiri Krontjong Toegoe, salah satu grup musik yang berdiri pada 1988 dan masih melestarikan musik keroncong Tugu sampai saat ini.

Kisah serupa disampaikan Guido Quiko, pentolan grup musik Keroncong Tugu Cafrinho yang juga masih melestarikan peninggalan moyang hingga kini.

Ia bercerita orang-orang Mardijker ini harus memenuhi dua syarat Belanda untuk menetap di Batavia, yakni pindah agama dari Katolik ke Kristen Protestan, serta mengganti nama belakang Portugis ke Belanda.

"Itu wajib, karena Belanda tidak mau ada jejak Portugis di Batavia," tutur Guido Quiko.

Suasana markas kelompok keroncong Krontjoeng Toegoe di Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8/2022).Suasana markas kelompok keroncong Krontjoeng Toegoe di Tugu, Jakarta Utara, Minggu (7/8). Foto: (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)

Sekitar 23 keluarga bersedia memenuhi persyaratan itu dan diberikan kebebasan untuk membawa produk budaya ke Batavia.

Pakar kajian poskolonialisme dan dekan FIB Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso mengatakan para keluarga setuju dengan persyaratan Belanda demi mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

"Kalau enggak gitu, ya mereka (orang Mardijker) ini bakal termarjinalisasi; agama beda, bahasa beda, mereka juga orang asing. Jadi mereka akhirnya mengharapkan kemudahan," kata Bondan.

Namun, mereka tak sepenuhnya merdeka dan mendapatkan kehidupan yang benar-benar layak. Mardjiker ternyata ditempatkan di kawasan rawa yang jauh dari pusat kota Batavia.

[Gambas:Video CNN]



Guido Quiko kemudian menilai hal itu sebagai upaya Belanda membunuh Mardjiker. Namun, para moyangnya pun benar-benar berupaya bertahan dalam kondisi tersebut.

"Orang-orang Tugu kan awalnya juga bermaksud untuk dibunuh [Belanda]," sebut Guido Quiko mengenang cerita nenek moyangnya.

"Karena wilayah Batavia tenggara itu sangat rentan dengan malaria, itu wilayah rawa-rawa. Maksudnya biar orang-orang itu mati dengan alam. Tapi kan akhirnya kami enggak kalah sama alam itu, justru alam yang kami kalahkan," cetusnya.

Lanjut ke sebelah...

Gif banner Allo Bank

Keroncong Tugu, antara Bermusik dan Jaga Identitas Diri

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER