Review Film: Before, Now, & Then
Before, Now, & Then (2022) bak menjadi kapsul waktu Kamila Andini yang menggambarkan situasi perempuan Indonesia kala menjadi warga negara kelas dua yang kemudian 'memerdekakan' diri.
Berlatar di tanah Sunda pada dekade '60-an, Kamila Andini dengan detail menampilkan suasana yang mendukung cerita. Bukan hanya sekadar pakaian atau lokasi cerita, melainkan hingga bahasa yang digunakan sampai ramai pemberitaan soal PKI yang populer pada zaman tersebut.
Posisi Nana (Happy Salma) dan perempuan pada era tersebut ditampilkan masih terjebak dalam masyarakat yang memiliki paradigma patriarki kental. Hal ini ditampilkan secara simbolik melalui kegiatan sehari-hari Nana.
Nana ditampilkan hidup hanya sekadar untuk melayani suami juga keluarganya. Menjalani rutinitas bagai siklus tak berujung dan tetap mengutamakan kebahagiaan orang lain, meski dirinya sendiri hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Sutradara yang juga dikenal memperkaya filmnya dengan metafora ini masih menggunakan cara tersebut untuk menggambarkan insting Nana yang terusik akan kehadiran perempuan lain dalam rumah tangganya.
Simbolisme itu yang membuat kisah Before, Now, & Then bukan hanya sekadar menampilkan drama seorang perempuan yang rumah tangganya terusik dan segala traumanya, tetapi juga perjalanan menyusuri jiwa Nana.
Perjalanan itu termasuk mengikuti berbagai delusi yang dialami Nana. Lewat berbagai delusi itu, Kamila Andini menyuarakan soal masalah mental yang lahir dari trauma masa lalu Nana.
Kejadian-kejadian buruk seperti kehilangan suami dan ayahnya, anak pertamanya meninggal, diikuti oleh sejumlah kandungan gugur membuat Nana merasa gagal sebagai perempuan.
Apalagi posisi perempuan pada saat itu dicap 'hanya' bertugas untuk urusan dapur dan mengurus anak. Beban ini, ditambah berbagai peristiwa menyakitkan yang dialami Nana, membuat penonton memahami bagaimana suram situasi kejiwaan karakter tersebut.
Cara penceritaan tersebut yang juga membuat penonton tidak sekadar melihat bagaimana karakter Nana berproses dan berkembang, tetapi juga merasakan perubahan tersebut secara perlahan dan nyata.
Hal itu terlihat seperti ketika Nana menghadapi ketakutannya dengan cara merangkulnya, menemukan teman di dalamnya, dan secara perlahan membuka diri atau memerdekakan diri dari segala kungkungan juga ketakutan yang membelenggu.
Bahkan lebih jauh, aspek kemerdekaan diri yang lebih luas itu terlihat ketika Nana bukan hanya sekadar lepas dari ketakutan dan trauma, tetapi bisa menginspirasi dirinya untuk menjadi lebih berani menentukan keputusan.
Kemerdekaan itupun disimbolkan melalui benda tradisional yang dipakai oleh perempuan, sanggul. Pelepasan sanggul ini selain menggambarkan tak ada lagi rahasia, juga bisa menggambarkan simbol modernisasi dan aksi Nana lepas dari kerangkeng masa lalu.
Segala pesan metaforis ini pun tersampaikan dengan baik melalui akting apik Happy Salma dan Laura Basuki sebagai Mak Ino. Mereka bukan hanya mampu membuat penonton memahami karakter yang dimainkan, tetapi juga berempati terhadapnya.
Gejolak dan dinamisasi yang berlangsung sepanjang film pun terbangun dengan apik dengan dukungan komposisi suara yang disajikan. Mulai dari melodi biola dan suara-suara radio yang menunjukkan suasana genting, sampai gunung berapi yang meletus.
Hanya saja, alur maju-mundur dan gaya teatrikal yang digunakan Before, Now & Then bisa jadi menyulitkan sebagian penonton dalam menikmati ataupun menangkap pesan tersirat di dalam ceritanya.
Kamila Andini menggunakan peleburan waktu lampau, kini, bahkan masa depan dalam satu ruang yang sama. Bahkan beberapa bagian cerita disajikan sebagai misteri yang baru akan terjawab di akhir.
Dengan perjalanan sepanjang film, Before, Now, & Then menggambarkan perjalanan seorang perempuan untuk bisa merdeka, bukan hanya terbebas dari kemelut hidup tetapi juga berani untuk menentukan kebahagiaannya sendiri.