Review Film: Bullet Train

Trisha Dantiani | CNN Indonesia
Jumat, 12 Agu 2022 20:00 WIB
Review film: Bullet Train sebenarnya punya bahan yang bisa jadi sajian menggugah selera, sayangnya tidak dibuat dengan resep atau pelaksanaan yang baik.
Review film: Bullet Train sebenarnya punya bahan yang bisa jadi sajian menggugah selera, sayangnya tidak dibuat dengan resep atau pelaksanaan yang baik. (dok. 87North/CTB Inc./Hill District Media via IMDb)
img-title Endro Priherdityo
3
Bullet Train sebenarnya punya bahan yang bisa jadi sajian menggugah selera, sayangnya tidak dibuat dengan resep atau pelaksanaan yang baik.
Jakarta, CNN Indonesia --

Bila hanya melihat dari premis, Bullet Train mengingatkan saya akan Murder On The Orient Express (2017). Ada banyak hal serupa antara dua film ini.

Keduanya sama-sama dari novel. Murder On The Orient Express dari Agatha Christie, sementara Bullet Train adaptasi dari novel Maria Beetle karya Kotaro Isaka.

Kedua kisah ini juga sama-sama melibatkan kereta api dan segerombolan karakter yang saling terkait, tapi sengaja disembunyikan dari penonton hingga akhir cerita.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Memang mestinya konsep premis tersebut memiliki nilai jual yang menarik, terdengar cerdas dan seru. Namun kerumitan konsep itu sayangnya tidak dieksekusi dengan baik oleh penulis Zak Olkewicz dan sutradara David Leitch.

Olkewicz dan Leitch seolah ingin menampilkan gambaran besar cerita melalui kepingan-kepingan kecil kisah yang ia susun sedikit demi sedikit.

Agar terlihat menarik, mereka menyusun kepingan cerita tersebut lewat aksi dari masing-masing pembunuh bayaran dalam kereta cepat Tohoku Shinkansen Hayate.

Mereka mengajak penonton masuk ke dalam kerumitan kisah Bullet Train melalui sosok Ladybug (Brad Pitt). Penonton dan Ladybug pun seperti saudara senasib, tak tahu ke mana arus cerita akan mengalir dalam Bullet Train.



Hingga akhirnya, rajutan demi rajutan cerita yang mestinya membentuk permadani kisah yang seru dan menyenangkan berbuah menjadi bola benang yang semrawut dan berantakan.

Bullet Train terlalu banyak menjual para pemain berisi kelas kakap. Pasukan aktor besar yang membuat bujet produksi hingga menyentuh total US$90 juta ini gagal membuat penonton terpukau.

Aksi yang ditawarkan pasukan aktor ini memang menjanjikan. Mereka bermain sebagai karakter-karakter unik dan membuat cerita punya banyak plot-twist. Namun kebanyakan plot-twist pun bikin penonton jenuh.

Beragam kepingan yang disusun satu per satu membuat Bullet Train menjadi perjalanan yang menjemukan. Bahkan adegan-adegan rebutan koper yang mestinya seru malah terasa membosankan.

Bullet Train (2022)Review film: Bullet Train sebenarnya punya bahan yang bisa jadi sajian menggugah selera, sayangnya tidak dibuat dengan resep atau pelaksanaan yang baik. (dok. 87North/CTB Inc./Hill District Media via IMDb)

Mungkin ini terjadi karena Olkewicz dan Leitch berjuang sekuat tenaga menyamakan diri dengan karya Quentin Tarantino, khususnya saga Kill Bill.

Hal itu terlihat dari berbagai adegan tarung dengan banyak darah menyembur ke manapun dan kebrutalan macam film kartun. Belum lagi berbagai aksen budaya populer Jepang dalam film ini yang menyebar dan mengingatkan atmosfer dari Kill Bill.

Sebenarnya tidak ada yang salah bila Leitch memutuskan menghidupkan kembali nyawa Kill Bill dan Tarantino dalam karyanya.

Namun yang jadi poin kritis dalam film ini adalah Leitch tampak hanya sekadar mereplikasi keajaiban dalam film Tarantino tanpa sungguh-sungguh menggunakan elemen itu sebagai pemerkaya Bullet Train.

Ambil contoh dengan penggunaan percakapan cepat, jenis senjata macam jarum suntik, hingga pistol dan pedang samurai yang mengingatkan pada saga film yang dibintangi Uma Thurman tersebut.

Hal yang melegakan dalam Bullet Train bisa dibilang hanyalah si kereta cepat. Latar kereta cepat ini menambah suasana modern dan keren dalam adegan.

Kompartemen dalam gerbong juga terlihat apik secara visual sehingga bisa dinikmati, walaupun tak bertahan hingga ujung pita film datang.

Meski membuat film ini terasa 'riweuh', beragam karakter yang terkumpul dalam Bullet Train ini sebenarnya menarik. Masing-masing punya perspektif, latar belakang, dan kepribadian yang unik.

Mereka pun punya potensi untuk digali lebih dalam. Sayangnya, terlalu banyak karakter yang ingin ditonjolkan dalam alur yang sudah ruwet membuat potensi itu menguap begitu saja.

Kalau pun ada yang berkesan bagi saya walaupun muncul sekejap, mungkin dari Aaron Taylor-Johnson sebagai Tangerine dan Brian Tyree Henry sebagai Lemon, serta Joey King sebagai The Prince dan Benito A. Martínez Ocasio (Bad Bunny) sebagai The Wolf.

Gif banner Allo Bank

Di sisi lain, kekacauan Bullet Train bukan hanya datang dari ceritanya dan pemain yang riweuh, tetapi juga dari unsur komedinya.

Mengusung genre film komedi laga, guyonan dalam Bullet Train tampaknya hanya dimengerti sekelumit orang. Seringkali komedi yang diselipkan terkesan "maksa". Ada dialog atau ulah karakter yang memang lucu, tetapi ada juga yang cuma asal ingin terlihat lucu dan jatuhnya malah "garing".

Hingga akhir keluar dari bioskop, Bullet Train sebenarnya memiliki bahan-bahan yang bisa menjadi sajian menggugah selera dan memukau, sayangnya tidak dibuat dengan resep atau pelaksanaan yang baik.

[Gambas:Youtube]



(end)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER