Lagi-lagi Baim Wong memicu emosi publik. Apalagi kalau bukan karena konten YouTube teranyarnya, berisi prank atau lelucon dengan pura-pura menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan melapor ke polisi.
Buahnya? Baim Wong banjir hujatan. Bahkan yang terbaru, Baim Wong dipolisikan karena dianggap membuat aduan palsu dan dijerat dengan Pasal 220 KUHP yang berisi ancaman 1-4 bulan penjara.
Kecaman publik pun datang bukan hanya karena itu dianggap mempermainkan dan menganggap bercanda kasus KDRT, tetapi juga dirilis saat teman Baim Wong, Lesti Kejora diduga menjadi korban KDRT oleh Rizky Billar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski Baim Wong telah mengakui salah, seperti yang sudah-sudah, tapi proses hukum tetap berlanjut. Kini muncul pertanyaan, apakah se-desperate itu seorang kreator dalam menghasilkan konten untuk mereguk cuan?
Menurut pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, banjir konten dari para konten kreator dadakan ini amat dipengaruhi dengan perkembangan teknologi yang makin canggih.
Teknologi internet, apalagi media sosial, mendorong banyak orang untuk bisa jadi 'artis' atau 'kreator' dadakan, yang mungkin sebelumnya sebagian dari mereka tidak memiliki basis pengetahuan atau pengalaman yang cukup.
Dengan menjadi 'artis' atau 'kreator' dadakan tersebut, sebagian dari mereka akan mendapatkan atensi dari pengguna internet alias 'publik'.
Atensi ini yang menjadi bahan bakar para kreator untuk terus memproduksi konten. Bagi mereka yang sudah punya banyak pengikut, atensi ini pun diubah menjadi 'iklan' atau yang beken disebut adsense atau endorsement.
"Mendapatkan perhatian di era sekarang mudah sekali, karena teknologi memfasilitasi hal tersebut. Kita punya kekuatan untuk bisa menembus ruang waktu untuk mendapatkan perhatian banyak pihak," kata Devie.
"Untuk mendapat perhatian tadi, cara paling mudah dengan membuat konten. Ini yang kemudian membuat setiap orang berlomba-lomba melakukan inovasi," lanjutnya.
Sayangnya, segala hal yang serba cepat itu kerap membuat para kreator terlena. Mereka pun seolah abai dengan aspek penting, seperti unsur kreativitas hingga nilai etis dari konten yang digarap.
'Miskin' nilai itu pun terlihat bukan hanya dari konten teranyar Baim Wong ini. Banyak para pembuat konten YouTube atau media sosial lainnya yang menjual dan melakukan segala macam cara sebagai bahan konten. Paling sering? gimik.
Misalnya saja, prank sembako palsu, berdandan ala gelandangan, hingga prank menghentikan truk di jalan raya yang menjadi tren hingga merenggut banyak nyawa.
Belum lagi soal drama-drama percintaan atau keluarga, menangis di depan kamera sembari curhat diputus cinta, dilamar kekasih dengan hujan barang mewah, pamer-pamer kemewahan, ribut-ribut anggota keluarga, hingga bongkar aib sendiri.
Segala konten yang dulu sering jadi bahan hinaan publik karena muncul di televisi dan media pun berpindah ke internet. Konten-konten berfaedah pun tenggelam dengan konten drama bin gimik yang mendapat dorongan 'promosi' algoritma karena views yang jutaan.
Apalagi, perubahan kehidupan manusia secara mendadak akibat pandemi selama dua tahun terakhir juga mendorong tren tersebut.
Berapa banyak selebritas yang mendadak jadi pembuat podcast atau konten kreator di YouTube? Berapa banyak anak-anak sekolah justru didorong untuk menjadi YouTuber atau influencer alih-alih dokter, guru, seniman, atau pengusaha?
Lanjut ke sebelah...