Geliat Calo Berbisnis Tiket dalam Remang Konser Musik

CNN Indonesia
Minggu, 16 Okt 2022 15:26 WIB
Sejumlah calo punya cara tersendiri bagaimana mereka mendapatkan tiket dan menjualnya lagi ke penonton konser musik.
Sejumlah calo punya cara tersendiri bagaimana mereka mendapatkan tiket dan menjualnya lagi ke penonton konser musik. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./17.)

Namun B menyebut, ia lebih pragmatis dalam menjalani bisnis putar tiket sekunder ini. Ia tak memaksakan diri bila Dewi Fortuna sedang tak menemaninya. Apalagi bila ia merasa lelah, maka balik kanan akan jadi pilihan.

Menjalani pekerjaan sebagai calo lebih dari tiga dekade, B mengaku tak pernah mengalami konfik pada rekan sesama calo ketika bersaing pelanggan.

"Ya ibaratnya masing-masing sudah ada rezekinya sendiri lah," kata B. "Misalnya bertiga nih jual tiket, terus ada penonton, saya samper itu penonton, terus dia bilang iya, ya itu hak saya, yang dua lainya harus mengerti,"

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kerja samanya juga ada. Jadi intinya enggak ada saling ribut, saling pukul begitu lah, enggak ada," kata B.

Ada Konser, Ada Calo

Keberadaan calo dinilai akademisi Manajemen Konser dan Festival Universitas Pelita Harapan (UPH), Yosie Revie Pongoh, tidak bisa dipisahkan dari industri konser dan pertunjukan karena sudah mengakar sejak lama.

"Saya rasa tidak hanya di Indonesia. Calo, scalpers, atau apapun itu, di negara-negara lain juga banyak. Pun calo bukan hanya musik, ada transportasi, dan sebagainya," kata Revie saat berbincang dalam kesempatan berbeda.

"Kalau calo yang dalam rangka menawarkan jasa, untuk memudahkan pelanggan, ya sebenarnya tidak ada masalah," lanjutnya.

"Yang jadi masalah itu, kalo di musik, ketika calo-calo itu melakukan penipuan. Atau ketika tiket tiba-tiba habis dalam jumlah yang besar, itu kan tidak adil untuk pelanggan. Bahkan, ada yang sebelum tanggal resmi penjualannya itu tiket sudah habis," kata Revie.



Setali tiga uang dengan Revie, pengamat musik Wendi Putranto menganggap calo dalam konser sebagai pihak ketiga yang cuma ingin ambil keuntungan di tengah tingginya permintaan tiket konser.

"Calo itu suka atau enggak suka ya enggak akan bisa diberantas. Khususnya untuk konser-konser internasional, karena di Indonesia sendiri fenomena itu sudah ada dari tahun '80-an," kata Wendi dalam kesempatan terpisah.

Menurut pengalaman Wendi yang juga terlibat dalam bisnis pertunjukan ini, ada dua jenis calo yang pernah ia temui. Pertama, calo murni. Yakni, calo yang membeli tiket sedini mungkin untuk dijual dengan harga lebih tinggi dari harga resmi.

"Tapi ada juga promotor yang memang mengalami kondisi poor ticket sales, dalam artian konsernya ini kurang laku. Jadi dia harus bekerja sama dengan calo untuk bisa mendorong penjualan tiket," kata Wendi soal jenis calo kedua.

"Dengan calo, mereka bisa jual setengah harga tanpa mendapatkan komplain dari pembeli tiket," kata Wendi.

Wendi pun menilai calo bukan jadi persoalan bagi promotor. Sebab, promotor idealnya lebih mengutamakan pelayanan terbaik bagi pembeli tiket. Selain itu, ia menilai sampai saat ini, tak ada promotor bangkrut karena calo.

Pintar Hadapi Calo Nakal

Meski begitu, menurut Wendi, penonton juga mesti punya siasat saat menghadapi calo nakal yang melambungkan harga tiket tidak wajar. Salah satunya, beli tiket saat pertunjukan sudah dimulai.

"Jalani dulu aja konsernya 1-2 lagu, nanti sampai lagu ketiga baru beli di calo. Pasti harganya akan turun, konsekuensinya ya ketinggalan beberapa lagu di awal," kata Wendi.

"Karena dia [calo] masih ada sisa tiket yang harus dijual, tapi dia merugi karena ada modal yang dikeluarkan sebelumnya," lanjutnya.

Sementara itu, Revie mengatakan beberapa konser di luar negeri sudah menerapkan lisensi terhadap calo untuk mengurangi dampak kerugian calo nakal. Biaya yang agak lebih tinggi dari calo pun dianggap sebagai biaya jasa mengantre.

South Korean band AESPA perform at ABC Good Morning America summer concert series in Central Park in New York City, U.S., July 8, 2022. REUTERS/Eduardo MunozIlustrasi. Beberapa konser di luar negeri sudah menerapkan lisensi terhadap calo untuk mengurangi dampak kerugian calo nakal. (REUTERS/EDUARDO MUNOZ)

"Di gelaran olahraga seperti baseball dan lain sebagainya itu, mereka bebas berkeliaran tapi dengan lisensi itu. Jadi calon pembelinya bisa melihat itu supaya enggak tertipu," kata Revie.

"Jadi biasanya itu untuk orang-orang yang datang on the spot, mau duduk di tempat duduk tertentu tapi tiketnya sudah habis," lanjutnya.

Menurut Revie, pekerjaan calo kadung dipandang publik "dari sisi yang sangat negatif" lantaran keberadaan oknum yang menyalahgunakan status "calo" untuk menipu, menjual tiket kelewat tinggi, dan sebagainya.

"Sehingga publik dengan gampang menilai kalau pasti ada 'mafia tiket' di balik orang-orang yang bekerja sebagai calo," kata Revie. "Tapi kan enggak bisa kita pukul rata kalau semuanya kayak begitu. Permintaannya pun masih ada kan dari penonton? Ya secara objektif sajalah lihatnya."

(frl, far/end)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER