Belum lagi Shalahuddin juga lebih memilih menampilkan perjuangan seorang staf perempuan yang berjuang untuk bisa lanjut studi magister di sebuah universitas negeri dengan kemampuan ekonomi yang amat terbatas.
Namun bukan berarti Shalahuddin hanya menyoroti soal kedigdayaan perempuan dalam pesantren ini. Ia juga mengisahkan beban lain yang dirasakan oleh laki-laki selain daripada urusan "menjadi pemimpin" atau hal-hal maskulin lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya, ketika seorang pengajar ikhwan pun juga bisa curcol di hadapan santrinya soal ditinggal menikah oleh perempuan pujaan hatinya, atau saat seorang santri ikhwan berusaha setegar mungkin di hadapan orang tuanya untuk bisa betah di pesantren.
Gambaran-gambaran bahwa laki-laki juga bisa menjadi orang yang penuh perasaan, atau perempuan juga bisa menjadi pemimpin dan pengejar mimpi yang tangguh, membuat film ini menampilkan pesantren pada definisi yang lebih luas.
Pesantren bukan hanya sebuah lembaga pendidikan berbasis agama, ia juga secuil dari masyarakat dengan karakter dan latar belakang penghuninya yang beragam, serta memiliki masalah sosial yang beragam pula.
![]() |
Meski begitu, Shalahuddin Siregar agaknya memang perlu memberikan konteks atau konflik yang lebih, atau mungkin memadatkan film ini karena pada sebagian adegan terasa tanpa makna yang berarti dan terkesan memanjangkan durasi.
Apalagi bagi mereka yang tidak biasa dengan dokumenter atau mereka yang bukan penggemar dokumenter tanpa wawancara dan pemandu/narator, maka menjalani 95 menit film ini akan terasa harus hafalan saat mata ingin terpejam.
Namun itulah keberagaman dokumenter. Seringkali dokumenter disajikan tanpa pengarah ataupun kesaksian dan hanya memotret sebagian dari kehidupan nyata, tanpa harus memberikan embel-embel fantasi hanya demi komisi dari durasi.
Dan tentu saja, penggambaran dan kehidupan Pondok Kebon Jambu Al-Islamy memang tidak bisa disamaratakan dengan seluruh pondok pesantren di Indonesia. Namun setidaknya ini memberikan gambaran lain di luar stigma awam soal institusi pendidikan berbasis agama terbesar di Indonesia itu.