Namun, ia sempat bekerja di media pada 1979 sampai 2004 dan memutuskan berhenti di usianya yang ke 55 tahun.
"Ditanya kenapa mundur? Saya mau nulis novel, 'loh kenapa', justru saat ini saya buat sandiwara, sandiwara tidak dihitung. Jadi sandiwara yang saya tulis mati-matian tidak dihitung sebagai karya sartra. Harus bikin novel dan puisi," katanya.
"Saya tidak tahu itu diakui sebagai karya sastra atau tidak yasudahlah, umur sudah segini, akhirnya tidak penting juga. Novel tidak saya lanjutkan, tetap saya nulisnya sandiwara, terserah mereka mau mengakui sebagai karya sastra atau tidak silahkan saja," kata Nano.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nano Riantiarno tercatat telah mendapat sejumlah penghargaan berkat kiprah dan konsistensinya di panggung teater Indonesia.
Pada 1993, ia dianugerahi Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K, atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Lima tahun berikutnya, ia menerima Penghargaan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Budaya juga pernah memberikan Piagam Penghargaan sebagai Seniman dan Budayawan Berprestasi pada 1999. Di tingkat internasional, Nano meraih Sea Write Award dari Raja Thailand di Bangkok atas karyanya Semar Gugat pada 1998.
Nano yang juga dikenal sapaan kecil seperti Jendil dan Nakula itu sedikitnya sudah membuat 35 naskah panjang. Sementara, dirinya juga sudah menulis naskah sandiwara pendek untuk panggung dan televisi.
Tak hanya membuat naskah teater, Nano juga pernah sedikitnya menulis tiga buku kumpulan puisi, 25 naskah adaptasi, tujuh novel (limanya diterbitkan), 30 naskah film dan televisi.
(chri)