Kesatuan HYBE dan SM nanti bisa jadi mengganggu ekosistem industri K-pop karena memungkinkan terjadinya monopoli. Semua pun semakin terasa kapitalis, dengan penggemar serta musisi adalah pihak yang paling kena imbas.
Sudah banyak cerita bagaimana musisi di dunia berjuang untuk kesejahteraannya melawan label yang amat berkuasa. Mulai dari masalah kontrak kerja, pembagian royalti, hingga hak cipta dan peluang berkembang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kini dengan SM dan HYBE bersatu, dan sudah pasti karena urusan bisnis, apakah kesejahteraan musisi bisa diharapkan dari rezim baru ini? Apakah musisi-musisi SM akan mendapatkan jalan yang setara seperti BTS dan adik-adiknya di HYBE?
Tentu itu semua baru bisa terjawab beberapa tahun lagi dan bergantung dari dokumen-dokumen perjanjian antara HYBE dan Lee Soo-man. Namun mengingat banyak pihak dari SM menolak, rasanya hal ini tak bisa ditinggal tidur dengan tenang.
Yang jelas, HYBE sudah memutus peluang Lee Soo-man mendapatkan royalti selama 70 tahun seperti yang diinginkan semula. HYBE mungkin punya perhitungan tersendiri soal bagaimana royalti dibagikan ke 'anak-anak' mereka.
Selain itu, ada sedikit kekhawatiran soal HYBE yang terkait dengan keberadaan Scooter Braun. Apalagi kalau bukan kisruh hak cipta musik Taylor Swift pada 2019 yang membuka mata akan arti penting hak cipta dan kepemilikan atas musik yang dibuat musisi.
![]() |
Justin Bieber pun baru-baru ini memutuskan untuk menjual hak cipta atas ratusan lagunya dari awal karier hingga 2021 kemarin. Apakah ini karena kebutuhan ekonomi ataukah ada kaitannya dengan bisnis dari Ithaca Holding, semua masih misteri.
Selain dari musisi, penggemar juga akan kena imbas dari penyatuan HYBE dan SM melalui penjualan konten turunan seperti merchandise dan tiket konser. Dengan nama besar dan strategi bisnis seperti HYBE, rasanya mustahil bila konser hanya memikirkan soal penggemar semata. Cuan tetap jadi andalan.
CFO SM Jang Cheol-hyuk pun sempat mengutarakan keresahan ini dalam video di YouTube yang banyak diolok oleh pendukung HYBE di media sosial.
"HYBE menaikkan tidak hanya harga tiket konsernya sendiri tetapi juga label yang telah diperolehnya, yang menggambarkan dampak monopoli terhadap industri," kata Jang Cheol-hyuk.
"Konsolidasi SM dan HYBE akan mempercepat kenaikan harga tiket, menambah beban penggemar yang mencintai dan mendukung artis K-pop dan K-pop. Kenaikan harga tiket konser hanyalah salah satu contoh."
Kecemasan Jang Cheol-hyuk pun ada benarnya. Beberapa perbandingan konser HYBE dengan SM yang ada di Indonesia pun menunjukkan hal serupa. Harga tiket termurah konser HYBE lebih tinggi dibanding konser dari SM.
Apakah harga konser berbanding lurus dengan kepuasan penggemar? Belum tentu. Namun yang pasti berbanding lurus dengan usaha penggemar dalam merogoh kocek hanya demi melihat idolanya.
Terlepas dari keributan antara penggemar SM dan HYBE di media sosial, momentum HYBE resmi membeli SM ini justru sepatutnya jadi perhatian pencinta musik. Apakah musik KPop tetap bisa memuaskan pencintanya atau hanya mempertebal taipan-taipan yang kepeduliannya akan musik diragukan.
(end)