Dalam buku Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012) yang ia tulis, Weintraub menyebut kehadiran biduan yang mewakili erotisme dangdut koplo ini mengundang orang-orang dalam menikmati pertunjukan.
Saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, Etnomusikolog ISI Surakarta, Denis Setiaji, berpendapat strategi itu tak bisa dilepaskan dari arti penting biduan dalam sebuah pertunjukan dangdut, terutama beraliran koplo.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biasanya di orkes (melayu) menggunakan personel, seperti biduan atau penggendang (sebagai kekuatannya)," kata Denis Setiaji. "Kemudian, biduan menjadi penarik perhatian penontonnya,"
Strategi biduan untuk menarik saweran itu pun dilakukan demi memenuhi kebutuhan hidup para musisi yang mentas.
Walau kemudian, ada 'bayaran' lain yang mereka terima dari para penonton: tingkah usil para lelaki yang tak puas hanya melihat dan menyawer biduan. Colekan, rangkulan, hingga ciuman pernah mendarat di tubuh para biduan.
Menurut Denis, saweran sejatinya memberikan kepuasan bagi para penyawer, terutama laki-laki. Mereka bisa berjoget dengan biduannya, bahkan mungkin fantasinya terhadap biduan "terpenuhi".
![]() |
Para pemberi saweran, menurutnya, juga mungkin termotivasi untuk menyawer karena muncul rasa kepemilikan terhadap biduan perempuan. Apalagi aksi mereka disaksikan oleh penonton lainnya sehingga terlihat seperti punya kuasa dan modal.
"Karena, tidak sembarangan kan orang yang kasih uang. Bahkan, bisa disebutkan ingin terlihat gagah di masyarakat," ucap Denis.
Para biduan ini tentu merasa risih. Padahal, mereka hanya penampil dan semestinya para penonton ini cukup berbahagia melihat mereka dan mewujudkannya dengan uang saweran. Tak lebih.
Beruntung mereka punya strategi untuk menghadapi gerayangan tangan usil penyawer.
"Kami punya koreo. Jadi, joget sambil menghindar," kata Lia, salah satu biduan OM New Monata dari Surabaya, sambil berkelakar.
Lihat Juga : |
Di penghujung hari, para biduan ini tetaplah hanya manusia biasa. Mereka punya kehidupan lain selepas turun panggung. Mereka seorang istri, ibu, hingga beberapa di antaranya juga merupakan pekerja kerah biru.
Seperti ketika CNNIndonesia.com bertandang ke Panggung Alpha Bravo (PAB) di daerah Bantul, Yogyakarta, seorang biduan mengungkapkan pekerjaan harian para teman-temannya di siang hari.
"Dia (bekerja di) pabrik, dia (yang lain) berdagang," ungkap Merimel sambil menunjuk dua teman biduannya yang lain. "Mau tahu saya apa? Saya angkat junjung galon. Saya sehari-hari kerja di pabrik galon isi ulang,"
Sementara, biduan yang lain menganggap bahwa menjadi biduan hanya sekadar hobi. Namun hobi yang tetap bisa menghasilkan uang demi memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi.
"Kalau kepikiran untuk pekerjaan lain, mungkin ada. Tapi kalau dipikir-pikir ulang, lebih enak kita melakukan pekerjaan yang sesuai hobi kita," kata Cici.