Suatu Minggu malam pada Januari 2023 di Yogyakarta. Petikan alat musik dangdut koplo mengalun dari permainan para pemain Orkes Melayu (OM) Marshella di atas panggung sebuah kafe dangdut, Panggung Alpha Bravo.
Suasana ruangan itu temaram. Sorot lampu remang-remang menyinari orkes dengan sepuluh biduannya yang tampil tetap berusaha semangat, meski penontonnya tak sebanyak saat manggung di hajatan.
Malam itu, hanya seorang laki-laki yang asyik joget sendiri di hadapan pasukan OM Marshella. Sementara penonton lainnya cuma bisa dihitung jari, bersembunyi dalam kegelapan ruangan, menikmati hidangan, dan tenggelam dalam pikiran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :![]() GALERI INTERAKTIF Aduh, Aduh, Koplo |
Sisanya di kafe itu, hanya ada beberapa penjaga warung yang membuka lapaknya dan beberapa pengelola kafe malam itu, termasuk Iwan.
"Kenapa di sini sepi sekarang, ya karena di luar sudah bebas. Ibaratnya job di luar tuh ramai, dan kafe-kafe sama klub dangdut juga banyak," kata Iwan.
"Walaupun akhir pekan tetap surut [penonton], paling ramai kalau ada bintang," lanjutnya. "Kalau pas special event, ada bintang dari Jawa Timur itu, bisa 1.500-2.000 penonton lebih,"
Keberadaan kafe dangdut seperti PAB adalah simpul lain yang memperpanjang nafas kehidupan banyak OM di Yogyakarta, termasuk OM Marshella.
Lihat Juga :![]() LIPUTAN KHUSUS Dua Sisi Koplo di Yogyakarta yang Memang Istimewa |
![]() |
Meski kafe sepi penonton, OM seperti Marshella tetap tampil karena itu adalah jadwal tetap mereka. Sementara hajatan dan acara lainnya, meski berpenonton ramai, tak pernah bisa diharap datang secara rutin.
"Ya sampai sekarang alhamdulillah grup kami selaku eksis," kata Gandrung, pemain sekaligus pengelola grup OM Marshella.
"Selalu manggung dari panggung ke panggung, bahkan seperti di kafe-kafe. Kemudian di tempat-tempat orang hajatan, orang yang sedang mengadakan khitanan," lanjutnya. "Kemudian, kami bahkan menerobos di acara resepsi manten,"
"Karena di Yogya, khususnya Yogya itu, kalau grup musik dangdut komplit itu jarang sekali grup musik dangdut di Yogya bisa menerobos di event-event seperti resepsi manten," kata Gandrung.
Lihat Juga : |
Kata Gandrung, acara hajatan banyak yang cuma bisa menyewa organ tunggal, bukan setim orkes komplet karena keterbatasan bujet. Sementara kebutuhan untuk keberlangsungan setim tetap ada, tak peduli datang dari hajatan atau bukan.
Maka wajar kiranya banyak OM disebut Gandrung bertumbangan. Biaya kebutuhan OM bukan hanya bayaran untuk pemain, tetapi juga perawatan hingga pembelian alat-alat musik. Belum lagi persaingan antar OM.
"Kalau dihitung mungkin bisa 100 lebih yang tumbang. Misalnya dari 2004 sampai hari ini, itu 100 grup lebih yang tumbang. Banyak sekali," kata Gandrung yang kini menyebut grup OM yang berusia lebih dari 10 tahun hanya berkisar 10 grup di Yogyakarta.
![]() |
Maka dari itu, ketika sebuah OM dapat jadwal tetap di sebuah kafe dangdut, mereka secara tertib bergantian naik ke atas panggung dan tampil. Entah ada atau tiada penontonnya.
Namun karena jadwal reguler ini pula, banyak OM tidak melangkah lebih jauh mempromosikan orkes mereka dalam bentuk iklan. Mereka lebih banyak hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut.
Gaya bertahan hidup OM musik koplo di Yogyakarta ini juga dipaparkan oleh Etnomusikologi ISI Surakarta, Denis Satiaji. Denis menyebut OM yang masih terbilang orkes tradisional cenderung masih bermain di kafe-kafe seperti PAB.
"Di Yogya sendiri, konser-konser yang memunculkan orkes-orkes dangdut seperti itu tidak sebanyak di wilayah Jawa Tengah atau Jawa Timur," kata Denis. "Justru trennya di Yogya itu, format orkes main di model klub-klub,"
Selain daripada perilaku bermain aman dengan jadwal tampil reguler dan minim promosi, penyelenggara festival musik atau pun konser tampak tak tertarik menggandeng orkes-orkes dangdut koplo tradisional ini.
Lanjut ke sebelah...