Jakarta, CNN Indonesia --
Slogan "Yogya Istimewa" kerap muncul di berbagai baliho dalam perjalanan kami menuju Plered, Bantul, DI Yogyakarta, suatu sore pada Januari 2023.
Kami menuju sebuah acara hajatan seorang warga yang menggelar resepsi dengan mengundang Orkes Melayu (OM) Marcella sebagai pengisinya.
Tak jauh dari tujuan, kami sudah mendengar sayup-sayup keramaian dan terlihat jejeran motor, serta orang-orang yang tampak mengenakan pakaian rapi, tanda koleksinya hanya akan dikeluarkan dari lemari pada momen tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah tenda berhiaskan dekorasi khas hajatan pernikahan sudah berdiri melindungi undangan berbagai umur dari teriknya cahaya matahari. Namun, OM Marcella tampak baru akan bersiap memetik alat musiknya.
Lagu demi lagu pun dimainkan. Tak banyak lagu beraransemen cepat yang disajikan semasa resepsi. Semuanya mendayu menemani tamu menikmati hidangan dan saling bercengkerama.
Hingga selepas matahari hilang dari cakrawala dan berganti terang bulan, acara resepsi pun tiba di sesi khusus 'bapak-bapak', mengingat tamu yang tersisa hanyalah para lelaki dewasa. Saat itu lah setlist berganti.
Hentakan lagu menjadi cepat, goyang biduan makin semarak. Koplo hadir malam itu. Namun bukan sembarang koplo seperti yang kami dengar biasanya. Koplo itu mendendangkan lagu-lagu bersuasana langgam tradisional yang menuntut biduan bersinden lirih.
Liwung yang merupakan salah satu lagu langgam Jawa bertempo pelan, dimainkan dengan aransemen cepat dan diiringi joget trengginas dari para biduan di hajatan tersebut. Sementara itu, tamu anak-anak sudah terlelap ke alam mimpi.
 Di Yogyakarta, musik dangdut koplo juga acap kali dimainkan di hajatan atau pesta undangan. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim) |
Dari hajatan ke kafe
Perjalanan kami tak berhenti di situ. OM Marcella juga manggung di sebuah kafe yang konon dimiliki oleh anggota keluarga Keraton, Kafe Alpha Bravo. Di sana, OM ini jadi home band alias pengisi tetap kafe itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB dan suasana kafe cukup sepi dengan satu-dua orang hadir sebagai penonton.
Pengelola kafe, Iwan, mengatakan meski cenderung sepi, kafe-kafe dangdut seperti yang ia kelola sejatinya dulu jadi titik awal 'kuali' peleburan koplo dengan musik tradisional di pusat tanah Mataraman itu.
Iwan yang namanya mentereng di skena dangdut dan per-koplo-an di Yogyakarta, menyebut koplo adalah favorit banyak OM di Yogyakarta semenjak musik itu masuk sekitar 2002 silam.
Koplo hadir berdampingan dengan peleburan-peleburan dangdut yang lain, seperti jaranan dangdut (jandut), jaipong dangdut (pongdut), dan campursarian.
"Kalau lagu itu (tradisional) ya ada dimainkan, tapi enggak dilanggamkan. Ya itu dikoploin akhirnya, itu ada lagu-lagu kayak Rondo Kempling itu dikoploin. Lagunya ada, tapi genrenya jadi beda [jadi koplo]," kata Iwan.
"Kayak Liwung itu kan sebetulnya lagu langgam, tapi dikoplo, karena kan mereka [pemusik dan penonton] inginnya joget," lanjutnya.
[Gambas:Video CNN]
Lanjut ke sebelah...
Kasus peleburan koplo dengan budaya setempat, dalam hal ini musik tradisional di kawasan Mataraman, tak lantas berhenti. Hal serupa terlihat saat kami mendatangi Solo ketika grup hiphop dangdut asal Yogyakarta, NDX AKA, mentas.
Di kota asal Presiden Joko Widodo itu, NDX AKA jadi salah satu headliner festival populer anak muda setempat. Duo itu sudah ditunggu-tunggu ribuan anak muda di sana.
Ya, ribuan anak muda berkumpul di konser musik koplo campur hiphop.
Bahkan bukan cuma NDX AKA. Festival bertajuk Morefantastic itu diisi pula oleh nama-nama besar lain di wilayah Mataraman, seperti Denny Caknan asal Ngawi, dan Guyon Waton dari Yogyakarta.
"Karena dangdut campur hiphop dan Jawa juga, makanya senang. Terus yang tahu banyak orang, jadi bisa sing along bareng, bisa joget bareng. Enggak sendiri doang," kata seorang penonton, Devanka, yang berusia 21 tahun asal Solo.
 Penonton di konser NDX AKA asik bernyanyi bersama grup musik asal Yogyakarta tersebut. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim) |
Penonton lain, Aisyah dan Vila yang berusia 20 tahun, juga berpendapat senada. Bagi mereka, lirik berbahasa Jawa yang mudah relate, serta aransemen dan tatanan suara yang segar di telinga, jadi alasan musisi-musisi koplo 'kontemporer' Jawa ini tenar di kalangan anak muda setempat.
"(Tahu) yang ngehit-ngehit itu. NDX, Denny Caknan, Ndarboy Genk. Itu sih setahu saya," kata Vila.
Namun Vila dan Aisyah menggeleng saat ditanya apakah mengenal OM tradisional Yogyakarta atau Jawa Timur yang juga mendendangkan koplo secara 'konvensional'.
Mungkin inilah yang dimaksud oleh Andrew N Weintraub dalam bukunya, Dangdut: Musik, Identitas dan Budaya Indonesia (2010). Dalam buku itu, Weintraub menilai koplo yang merupakan evolusi dari dangdut, melebur dengan musik tradisional di berbagai daerah.
 NDX AKA sukses meleburkan koplo dengan hip hop, musik latina, hingga campur sari. Musiknya digemari banyak anak muda di Yogyakarta. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim) |
"Dangdut koplo adalah kekuatan ekonomi yang penting dalam musik populer Indonesia dan mengalami peningkatan popularitas di kota-kota lain di luar basisnya di Jawa Timur," tulis Weintraub.
"Koplo merupakan bagian dari formasi pan-daerah yang terpisah dari dangdut: koplo telah bercampur dengan bentuk-bentuk di Jawa Tengah (campursari), Jawa Barat (pop Sunda), Banyuwangi (kendang kempul), Cirebon (tarling), dan lain-lain," paparnya.
Lanjut lagi ke sebelah..
Namun bila memang melebur, musik koplo di Yogyakarta dan sekitarnya tetap terasa unik. Di tanah Mataraman ini, musik koplo membagi pendengarnya ke sudut tradisional dan yang lainnya ke sudut kontemporer.
"Yogya sendiri berbeda," kata Etnomusikologi ISI Surakarta, Denis Setiaji. "Dominasi antara musik populer yang juga dikreasikan dengan gaya kekinian, dangdut dengan gaya kekinian,"
"Rasa musikal dangdutnya kuat tapi juga sebetulnya popnya juga sangat kuat. Ya, walaupun dangdut sebetulnya juga sejatinya juga pop," paparnya.
Masyarakat Yogyakarta yang dianggap lebih melek terhadap seni budaya populer, menciptakan musisi-musisi semacam NDX AKA, Ndarboy Genk, atau Gyon Waton. Apalagi mereka dianggap punya kepekaan terkait relevansi kultural oleh generasi muda.
"Dari sisi taste, musikal. Dari sisi sastranya, misalnya. Walaupun menggunakan bahasa Jawa yang dari Yogya, tapi sastranya itu agak 'kesenja-senjaan' lah kalau [kata anak] zaman sekarang," kata Denis.
 Konser Koplo NDX A.K.A. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim) |
Anggapan Denis itu pun tampak nyata terlihat dari perbincangan kami dengan Nanda NDX AKA, dan Helarius Daru Indrajaya alias Ndarboy Genk.
Dua pemuda Yogyakarta ini membawa musik yang berbeda, Nanda dengan hiphop, Ndarboy dengan campursari. Namun keduanya, sama-sama menggunakan unsur koplo dalam musiknya.
Nanda bersama PJR membentuk NDX AKA berbasiskan keinginan menjadi keren lewat kultur hip-hop Latina ala keturunan Meksiko di AS. Namun kata Nanda, ia sadar diri dangdut dan musik tradisional adalah jati diri mereka yang sebenarnya.
"Sebenarnya kami mengikuti yang lagi tren dulu, senggakan-senggakan itu. Karena melihat koplo, 'Wah, koplo ada senggakan yang enak nih'," cerita Nanda. "Nah, kami terapkan di hip hop dangdut kami walaupun enggak pakai take asli, tapi pakai MIDI kan kami. Bagaimana caranya biar asik,"
Sementara Ndarboy, mengaku lebih dibesarkan dengan asupan musik-musik tradisional bersama orang tuanya. Mendiang The Godfather of Broken Heart alias Didi Kempot menjadi salah satu idolanya.
"Yang jelas musik-musik campursari tuh semuanya saya suka. Pokoknya lagu-lagu daerah, lagu-lagu dengan nuansa gamelan gitu saya suka," kata Ndarboy.
"Terus, koplo, campursari, dangdut, pongdut, istilah-istilah dangdut itulah. Kita garis besarkan semuanya adalah sub dari dangdut ya," lanjutnya.
"Di sini, Ndarboy Genk menggabungkan itu semua. Biar bagaimana? Khususnya anak muda itu terus bisa mengikuti musik ini tidak bosan, karena saya melihat dulu Pak Didi itu pernah naik di eranya bapak-ibu saya," kata Ndarboy.
 NDX AKA jadi salah satu musisi yang sukses meraup keuntungan dari kepopuleran musik koplo. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim) |
Nanda dan Ndarboy bagai mengamini teori dari Weintraub. Peneliti University of Pittsburgh itu berasumsi bahwa dangdut koplo adalah wadar berekspresi yang lebih bebas.
Hal itu karena musik koplo, dianggap lebih mampu melakukan pergeseran terhadap batas genre musik melalui permainan instrumennya.
Sementara bagi Denis, koplo menawarkan sebuah bentuk kesegaran. Nanda dan Ndarboy adalah bukti mereka yang berhasil menyajikan hal baru bermodal koplo dan musik lain, dan diterima dengan luas. Dan mungkin karena inilah, Yogya memang istimewa.
"Satu akar, satu benang merah, tapi dia menawarkan hidangan lain, rasa lain yang lebih segar dibandingkan menu yang konvensional." kata Denis.