LIPUTAN KHUSUS

Koplo NDX AKA yang Tanpa Baju Seksi, Wajah Sukses Dangdut Yogyakarta

Prabarini Kartika | CNN Indonesia
Kamis, 09 Mar 2023 13:18 WIB
Dua entitas musik koplo di Yogyakarta, tradisional dan kontemporer, memiliki cara masing-masing untuk tetap bisa bertahan hidup di zaman kiwari.
NDX AKA yang tampil di festival musik mendapatkan sambutan ribuan penggemar. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)

Hal ini berbanding terbalik dengan kelompok musik koplo kontemporer di Yogyakarta seperti NDX AKA ataupun Ndarboy Genk. Mereka justru hidup dari banyak tampil di konser ataupun festival musik.

Tentu saja, kelompok kontemporer ini tampil membawakan lagu karya sendiri yang sudah dikenal luas oleh publik. Sehingga, mereka punya basis massa yang bisa jadi alasan diundang penyelenggara konser.

Di sisi lain, kelompok kontemporer ini juga memiliki perbedaan dari kelompok tradisional dari segi musik meski sama-sama menggunakan bahasa Jawa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Konser Koplo NDX A.K.A. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)Musik koplo ala NDX AKA ditampilkan di festival-festival musik kekinian. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)

Bila OM lebih sering membawakan lagu orang yang sedang naik daun, kelompok kontemporer ini berusaha membuat karya sendiri yang bisa disuka publik meski harus mencampur musik koplo dengan musik lainnya.

Selain itu, kelompok tradisional banyak mengandalkan keberadaan biduan perempuan untuk menarik massa. Berbeda dengan kelompok kontemporer yang kini banyak diisi laki-laki.

"Untuk NDX mungkin kenapa enggak pakaian seksi atau gimana, karena kami cowok," kata Nanda, pendiri NDX AKA. "Di sisi lain NDX fokus jual karya. Kami fokus jual karya."

"Kalau saya lihat di Instagram atau Google malah lebih banyak [pendengar] cowoknya. Berarti kami berhasil menjual karya kami, banyak yang terwakilkan," lanjutnya.

Formula itu pun bisa dilihat saat NDX AKA tampil di festival musik seperti Morefantastic di Solo beberapa waktu lalu. Pada malam itu, ribuan anak muda menantikan penampilan NDX AKA, Denny Caknan, dan Guyon Waton.

Ketika NDX AKA tampil di atas pangung, ribuan penonton tak ragu untuk bergoyang dan berdendang mengikuti alunan lagu hip hop dangdut. Apalagi, lagu-lagu yang dibawakan itu berbahasa Jawa.

"Karena lagunya Jawa, jadi lagunya easy listening. Jadi sudah hafal," ujar Vila, salah satu penonton NDX AKA.

"Mungkin musiknya, liriknya. Yang hafal banyak jadi bisa sing along, joget bareng, bikin enak begitu," tambah Devanka, penonton lainnya.

Konser Koplo NDX A.K.A. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)NDX AKA ketika tampil di salah satu festival musik di Indonesia. (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)

Sementara bagi Helarius Daru Indrajaya alias Ndarboy Genk, eksistensi dirinya dan kelompok kontemporer juga terpengaruh fenomena media sosial. Beda halnya dengan orkes yang mengandalkan promosi secara langsung.

Menurut Daru, musik populer seperti yang ia dan NDX AKA mainkan sudah merambah ke segala sudut media sosial. Namun mereka juga masih mengandalkan promosi lewat radio dan televisi untuk menyebarkan karya mereka.

"Semua tuh saling bersinergi, saling menguntungkan. Jadi, kalau bisa ya tidak cuma media sosial saja, tapi juga tetap budaya promo radio, promo ke TV, media massa, media cetak," kata Daru.

Meski begitu, bukan berarti kelompok kontemporer lebih unggul dan orkes jadi 'ketinggalan' zaman. Keduanya hidup dalam sisi yang berbeda. Daru sendiri menganalogikan dua entitas musik koplo di Yogyakarta ini sebagai makanan.

"Musiknya adalah makanan yang harus dinikmati sama orang," kata Daru.

"Ibarat bakso itu koplo, enggak mungkin semua bakso. Ada yang jualan mie ayam, ada yang jualan nasi goreng. Enggak mungkin kalau kita siang makan nasi goreng, kita makannya bakso,"

"Menurutku semuanya itu ada pasarnya sendiri-sendiri," kata Daru. "Cuma masalah tempat dan juga waktu aja yang kita berbeda sekarang."

(end/end)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER