Hangatnya sambutan masyarakat Indonesia kepada sandiwara radio turut terlihat dari banyak produk memasang iklan dalam program tersebut.
Dosen Departemen Jurnalistik Fikom Universitas Padjajaran, Basith Patria, mengatakan sandiwara radio kala itu menjadi salah satu konten yang disponsori produk-produk besar untuk didistribusikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkin mirip dengan serial saat ini atau sinetron pada masanya di televisi," kata Basith Patria kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Hal tersebut dikonfirmasi Malik Sjafei. Menurutnya, skema bisnis sandiwara radio sama seperti bisnis serial atau perfilman.
"Radio pendapatannya hanya dari orang yang menggunakan jasa audio kita untuk menyampaikan sesuatu. Yang terbanyak adalah pesan-pesan produk. Sandiwara radio juga monetizing dari iklan, sama saja," tutur Malik.
Kesuksesan sandiwara-sandiwara itu makin terlihat ketika mereka mulai diadaptasi ke medium audio visual pada 2000-an.
Namun, pada saat yang sama program sandiwara radio mulai berkurang. Pengamat budaya pop Hikmat Darmawan menilai hal itu disebabkan beberapa hal, seperti proses pencarian model bisnis, bukan kanibalistik di antara media.
"Itu mitos saat media mencuat seolah-olah ada perilaku kanibalistik antarmedia, yang satu akan memakan yang lain, digital akan memakan cetak, dan sejenisnya," kata Hikmat dalam kesempatan terpisah.
"TV yang sangat meningkat dan pada 2000-an seakan-akan radio mati, tapi mungkin itu karena model bisnis ya. Model bisnisnya tidak ketemu dan industri musik juga berubah."
Ia kemudian mencontohkan sandiwara radio tetap ada dan disiarkan pada 2000-an dengan penyesuaian, seperti tema dan cerita yang lebih kekinian, yakni horor, romantis, dan komedi.
Tak lagi banyak kisah legenda atau peperangan seperti di masa lampau. Terlebih lagi, pengalaman menikmati kisah yang ditawarkan televisi atau film dengan sandiwara radio berbeda.
"Karena karakter medianya beda. Audio itu kan bisa mendengarkan sambil melakukan apa aja. Sementara audio visual harus memerhatikan secara khusus," tutur Hikmat Darmawan.
"Sementara itu, kalau audio kan bisa sambil masak, nyetrika. Jadi itu yang dibilang kekuatan radio."
Oleh sebab itu, Hikmat meyakini sandiwara radio tetap bertahan hingga kini, terutama ketika radio kini semakin masif di tengah perkembangan industri digital. Menurutnya, hal itu bisa hilang jika ada kiamat teknologi.
"Jadi ya akan bertahan. Akan selalu boom pada konteksnya sendiri. Bakal ada niche-nya sendiri. Kehadiran medium baru tidak menghilangkan medium lama," ucapnya.
"Yang jelas sih pasti akan selalu ada. Dia enggak akan kehilangan sepenuhnya pasarnya. Pasar berubah tapi enggak hilang, kecuali ada kiamat teknologi." lanjutnya.
Balada Cerita Ramadan menjadi salah satu yang masih bertahan hingga dua dekade. Sandiwara radio yang disiarkan pertama kali pada 2003 tetap hadir hingga Ramadan 2023.
Sementara itu, Inggris memiliki The Archers yang disiarkan sejak 1 Januari 1951 hingga saat ini oleh BBC.
(chri/bac)