Bandung, CNN Indonesia -- Nuansa klasik begitu terasa kala bertandang ke rumah di Jalan Babakan Ciparay Situgunting Timur, RT 3 RW 8, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung itu. Puluhan radio tabung tampak mengisi lemari kaca. Salah satunya menyala. Terdengar sayup-sayup suara penyanyi.
"Ini bisa dicolok ke flashdisk," ujar Oo Kholid, pemilik rumah itu.
Ia lantas menunjukkan sambungan USB yang berada di bagian belakang radio. Rupanya hanya bentuknya saja yang klasik. Fitur-fiturnya tetap kekinian. Radio itu bahkan juga bisa tersambung dengan bluetooth. Musik-musik masa kini pun bisa diputar di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di usianya yang sudah memasuki 75 tahun, Oo mengaku merakit ulang sendiri puluhan radio antik agar menjadi lebih kekinian. Dia mencoba mengganti tabung dengan transistor.
"Bodinya tetap dipertahankan, isinya saya buat agar lebih modern. Tapi kualitasnya bagus," kata dia. Terkadang desainnya ia bikin unik, seperti berbentuk angklung.
Itu sudah dilakukan Oo sejak lima tahun lalu. Dengan begitu, radio antik pun jadi punya lebih banyak penggemar. Kebanyakan penggemarnya berasal dari kalangan muda.
 Koleksi radio antik Oo Kholid. (CNN Indonesia/Huyogo Simbolon) |
Radio antik yang dimodifikasi Oo pun jadi lebih bernilai. Harga yang dibanderol untuk radio tabung rakitan ini berkisar dari Rp1,5 sampai Rp4 juta. Meski terbilang mahal untuk sebuah radio, semakin lama karyanya kerap diburu konsumen dari dalam dan luar Bandung.
"Peminatnya sekarang mulai banyak, karena ada kesan kejadulannya," ujar Oo.
Ahli Memperbaiki Radio sejak 1960Oo ternyata sudah akrab dengan radio selama puluhan tahun. Sebelum meng-upgrade radio antik menjadi pemutar musik, Oo biasa memperbaiki radio tabung.
Ketika masih muda, Oo menyukai barang-barang lawas, termasuk radio tabung yang hanya dimiliki segelintir orang. Radio pertamanya adalah Philips, produk asal Belanda yang memiliki pamor di kalangan masyarakat. Namun ternyata hanya jenamanya saja yang Philips.
Bagian dalam radio itu, termasuk tabungnya, ternyata buatan lokal.
Merasa tertipu, Oo pun mulai mengulik 'dalaman' radio. Dia bahkan sempat mengikuti kursus elektro dan radio pada 1960-an. Setelah dinyatakan lulus, beberapa tetangganya meminta bantuan memperbaiki radio. "Waktu itu belum ada bayarannya," ucap ayah delapan anak ini.
Keluhan yang paling sering datang padanya terjadi karena adanya perubahan voltase. Masyarakat pun semakin lama tambah mempercayai kepiawaian Oo. Hingga akhirnya pada 1964 dia membuka praktek perbaikan radio di Jalan Industri Barat No.1, Ciroyom.
 Radio antik Oo Kholid berbentuk jadul tapi powerful. (CNN Indonesia/Huyogo Simbolon) |
"Mulai dari situ lah saya menetapkan tarif. Orderannya semakin banyak, ya lama-lama dapat penghasilan juga," ujarnya.
Masuknya radio transistor era '70-an membuat pamor radio tabung meredup. Namun beberapa orang masih mempertahankan radio tabung karena fungsinya yang bisa menerima siaran lebih luas, bahkan dari luar negeri lewat gelombang SW (
short wave).
Orderan servis radio pun masih terus mengalir pada usaha Oo. Dia bahkan dijuluki 'dokter' radio antik. Sayang, penggemar radio antik atau tabung kemudian menyurut. Lapak Oo pun berpindah dari Jalan Industri Barat ke rumahnya kini yang beralamat di Jalan Situgunting.
Namun, berdasarkan pengalamannya, mulai lima tahun belakangan radio antik kembali digemari. Maka dia kembali menjadi 'dokter' untuk menyembuhkan penyakit radio-radio antik.
"Untuk rusak ringan hanya Rp300 ribu, kalau kerusakannya berat dibawah Rp2 juta," katanya.
Yang paling sulit dari 'menyembuhkan' radio-radio antik, menurut pria kelahiran Garut ini, adalah mendapatkan suku cadang radio. Ia pun harus mencari ke sana-sini demi mendapatkan bahan untuk merakit radio. Tak heran jika radionya dihargai 'lumayan.'
Selain reparasi dan merakit radio, Oo juga masih menyimpan puluhan radio tabung yang menjadi koleksinya. Selain Philips, radio tabung kesukannya berjenama NEC asal Jepang.
"Rata-rata diproduksi tahun '60-an. Sampai sekarang masih berfungsi dengan baik," ucapnya.
(hyg/rsa)