Sementara itu, Hikmat juga pernah menyebut bahwa penonton film Indonesia gemar akan sensasi, mulai dari efek suara hingga visualnya.
"Mereka cenderung akan mengonsumsi apa yang ada di bioskop, kala memilih mungkin mereka akan pilih film horor dibanding religi misalnya," kata Hikmat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Horor paling mudah memancing untuk penonton datang, karena nilai hiburannya tinggi dan akan selalu ada penonton meski pecintanya yang setia hanya sedikit," tambahnya lebih lanjut.
Sutradara Kimo Stamboel juga memiliki pandangan serupa. Menurutnya, pasar tertarik dengan film horor karena terasa seperti wahana ketika masuk. Mereka yang menonton film horor memang ingin ditakuti.
"Semua adrenalin yang ada di dalam diri mereka itu memancing sesuatu, hormon yang membuat mereka senang. Gue rasa itu alasan kenapa mereka suka ditakut-takuti," kata Kimo.
Sensasi dan kegemaran itu pula yang mendorong para produser membuat film horor. Misalnya Rapi Films yang memproduksi minimal dua film horor dalam satu tahun. Pada 2019, mereka membuat Ikut Aku ke Neraka yang edar pada Juli lalu dan Ratu Ilmu Hitam yang rilis awal November 2019.
Sunil Samtani selaku produser eksekutif Rapi Films menjelaskan, potensi film horor lebih besar ketimbang film drama. Menurutnya dalam lima tahun belakangan, minimal satu film horor bisa mendapat 200 ribu penonton.
Bila rumah produksi memperoleh Rp15 ribu dari penjualan satu tiket, setidaknya mereka bakal mendapat Rp3 miliar.
Rumah produksi jelas meraup untung bila biaya produksi dan promosi di bawah Rp3 miliar. Namun menurut Sunil, sulit membuat film horor di bawah Rp3 miliar. Bila dipaksakan, kualitas film cenderung berkurang.
"Karena bujet berpengaruh ke penentuan siapa sutradara, aktor, kru, peralatan, set, lokasi dan durasi syuting. Biasanya syuting 40 hari, [kalau bujet mepet] ada yang bisa selesai 10 hari. Untung bisa cepat (tapi kualitas belum tentu bagus)," kata Sunil.
(end)