Jakarta, CNN Indonesia --
Ungkapan "sukses di satu tempat belum tentu akan berulang di tempat lain" saya sarankan disematkan Sam Levinson dan Abel Tesfaye di bio media sosial mereka usai menggarap The Idol.
Butuh waktu untuk memahami apa yang sebenarnya sudah saya saksikan di serial berisi lima episode ini. Apakah ini yang ada di isi pikiran Levinson dan Abel Tesfaye alias The Weeknd? Serial yang cabul?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejujurnya, saya tak pernah melihat serial yang begitu cabul, toksik, dan misoginis seperti yang saya lihat di The Idol. This series is beyond any dreadful imagination of misogynist ideas. Ever.
Bahkan saya merasa iba dengan para pemain perempuan di serial ini. Mereka sungguh seperti perempuan yang dikontrak, dibayar, untuk berperan dengan mengandalkan pamer puting dan hanya bercelana dalam di sebagian besar cerita.
Ini menjadi perenungan besar bagi saya --seorang laki-laki-- apakah otak laki-laki di industri hiburan Amerika Serikat memang sekotor ini? Apakah seks harus jadi inspirasi utama dari semua karya?
Tiba-tiba saya teringat banyak karya The Weeknd yang memiliki makna tersirat akan seksualitas, yang membuat saya makin tidak tertarik menaruh lagunya di playlist saya.
 Review Serial televisi The Idol (2023): Sam Levinson, Abel Tesfaye, juga Reza Fahim memilih untuk memakai ide usang di tengah gagasan dan kesadaran publik akan pelecehan, kesetaraan, kesehatan mental, dan feminisme. (HBO Max) |
Mari berpikir positif sejenak soal serial ini -- yang sesungguhnya saya tak paham mengapa HBO setuju untuk merilis ini.
The Idol pada dasarnya menggambarkan perjuangan seorang bintang untuk bisa bertahan di industri musik Hollywood.
Perjuangan itu dibumbui dengan pergulatan mental dari sang bintang utama, Jocelyn (Lily-Rose Depp), usai ibunya meninggal setahun sebelumnya. Selama setahun pula, ia mengalami turbulensi mental yang berpengaruh ke kariernya.
Jocelyn memang digambarkan sebagai boneka industri Hollywood. Good girl gone bad, sebuah gagasan yang sempat ramai digunakan industri Hollywood pada awal 2000-an silam. Rihanna, Katy Perry, dan Kesha pun pernah pakai citra ini di awal karier mereka.
Namun gagasan itu sudah dua dekade lalu, dan tak disangka Sam Levinson, Abel Tesfaye, juga Reza Fahim memilih untuk memakai ide usang itu di tengah gagasan dan kesadaran publik akan pelecehan, kesetaraan, kesehatan mental, dan feminisme.
Sejujurnya gagasan itu mungkin tak akan mengganggu saya bila visualisasinya dibuat seriil mungkin dengan kondisi di lapangan atau nilai humanisme yang kuat. Namun ketiga lelaki itu justru memberi bumbu dengan adegan seks SM yang butut, apalagi citra pria berkuasa yang dibawakan dengan akting buruk oleh Tesfaye.
"Don't forget, sex sells!" kata Tedros (Abel Tesfaye).
Saya mencoba untuk tetap objektif dan tak judgemental terhadap Abel Tesfaye, tapi jujur saja saya tak tahan untuk tidak julid terhadap musisi itu usai melihat serial ini. Astaga.
Lanjut ke sebelah...
Rampung melihat The Idol secara maraton membuat saya juga paham mengapa sutradara juga aktris Amy Seimetz memilih cabut dari proyek ini meski sudah menggarap 80 persen hanya dengan alasan "perbedaan kreatif".
Seimetz jelas bertentangan secara ide dengan tiga eksekutif produser lainnya. Ia yang merupakan perempuan penyintas pelecehan rasanya mustahil membuat film dengan visualisasi seburuk ini dalam menggambarkan perempuan.
Tentu saja, gagasan dan karya Seimetz kemudian dibuang oleh Sam Levinson yang memilih menggarap ulang sesuai 'visi' dirinya dan dua produser eksekutif lainnya.
Jalan cerita The Idol versi Sam Levinson ini pun terbilang "dangkal" dan membosankan. Lima episode sepenuhnya ditulis dan digarap oleh Abel Tesfaye dan Levinson.
Meski beberapa kutipan percakapan terbilang "quoteable" dan memang menggambarkan filosofi atas penciptaan sebuah karya, yakni kebebasan, tapi sisanya terasa begitu saja berlalu.
Sebenarnya cerita mulai seru saat menjelang episode final. Namun plot twist yang diberikan Abel Tesfaye dan Sam Levinson sungguh-sungguh merusak momen. Cerita itu makin menegaskan The Idol hanya sekadar glorifikasi pria toksik dalam kehidupan dan karier perempuan.
[Gambas:Video CNN]
Mungkin yang bisa membuat saya bertahan mengarungi lima jam penuh ketidakjelasan The Idol adalah urat kesabaran saya, sinematografi yang cukup baik dan dramatis ala A24 dan HBO, serta akting sejumlah pemain yang memang baik.
Saya mesti memberikan pujian pada Lily-Rose Depp yang bukan hanya menampilkan performa secara totalitas, tetapi juga sanggup bertahan menjalani produksi serial ini.
Terlepas ia memang bersedia tampil bugil di depan kamera dan keturunan aktor karakter papan atas, Lily-Rose Depp memang punya bakat dalam berakting. Jika terus mengasah diri dan menambah jam terbang di proyek yang 'beneran' berfaedah, bukan mustahil ia punya masa depan cemerlang.
Kemudian ada Suzanna Son yang menampilkan sosok Chloe yang lugu dan bertalenta emas. Son dan Lily-Rose Depp bagi saya adalah the real Idol dalam serial ini.
Atribusi khusus saya ingin berikan pada Jennie Ruby Jane alias Jennie BLACKPINK. Meski secara kualitas akting dalam serial ini tak menonjol, aura Jennie sungguh prima bila sudah menari dan koreografi. Terpaan dan hasil training industri KPop memang tak main-main untuk soal dance.
Terakhir, saya hanya ingin berharap serial ini dan sekualitas ini tak lagi dilanjutkan. Selain karena buang-buang waktu penonton, kita tak butuh lagi narasi-narasi misoginis, seksisme, toksik maskulinitas, apalagi cabul, hanya dengan alasan "kebebasan berekspresi".
[Gambas:Youtube]