Cerita Malam Satu Suro dan Tradisinya yang Dicap Mistis
Malam satu Suro bagi sebagian orang dikenal juga sebagai malam Tahun Baru Islam. Namun mungkin masih banyak yang tidak tahu mengapa dua kalender dari dua budaya yang berbeda itu bisa kompak dan berisi beragam tradisi.
Hal itu tak bisa terlepas dari sejarah ketika Sultan Agung, yang menguasai Mataram pada 1613-1645, membuat kebijakan revolusioner fundamental: menyatukan kalender Saka dan Islam Hijriyah.
Lihat Juga : |
Menurut Japarudin dalam tulisannya bertajuk Tradisi Bulan Muharram di Indonesia dan terbit di Jurnal Tsaqofah & Tarikh Vol 2 Nomor 2 Juli-Desember 2017, penanggalan Saka merupakan perpaduan dari Jawa asli dan Hindu.
Japarudin sendiri mengutip Hersapandi dalam Sejarah Perkembangan Tahun Baru Jawa dan Perilaku Sosial-Budaya Orang Jawa: Suatu Pengantar (2005).
Hersapandi menyebut perubahan sistem kalender oleh Sultan Agung ini terjadi dan dimulai pada 1 Sura tahun Alip 1555 yang bertepatan pada 1 Muharam 1043 Hijriyah, atau 8 Juli 1633 Masehi.
Sementara itu, nama "Sura" atau dikenal sebagai "Suro" diyakini berasal dari kata "Assyura" yang merujuk pada hari ke-10 dari Muharam. Hari Assyura memiliki makna historis dan religi yang mendalam bukan hanya bagi Islam, tetapi agama samawi lainnya, Yahudi dan Nasrani.
"Jika dibandingkan dengan penyambutan tahun baru Masehi (malam 1 Januari) maupun tahun baru Cina (Imlek), yang umumnya disambut dengan euforia dan berbagai kemeriahan, akan tetapi tahun baru Suro disambut dengan renungan introspeksi diri dan berbagai ritual, satu aktivitas euforia yang berbeda," tulis Japarudin.
Keistimewaan 1 Suro semakin terasa kental dan keramat saat dua kerajaan peninggalan Mataram, Kraton Solo dan Kraton Yogyakarta, melestarikan tradisi menyambut 1 Suro.
Ada berbagai ritual hingga tradisi yang dilakukan dua kraton pusat budaya Jawa tersebut, mulai dari mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton, ritual mubeng beteng yang melarang pesertanya berbicara seperti orang bertapa, hingga kirab malam yang dipimpin Kebo Bule Kyai Slamet.
Tradisi tersebut mulai dari tirakat atau kegiatan introspeksi diri, lek-lekan atau tidak tidur semalam suntuk, Kungkum atau berendam di sungai besar atau sumber air, hingga membersihkan keris.
Sudah dari dulu
Tradisi berkaitan dengan 1 Suro itu pun bukan hanya dilakukan oleh orang Jawa di kisaran Mataram seperti Solo dan Yogyakarta, tetapi juga menyebar hingga Cirebon juga Madura.
Menurut Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra, peleburan dua penanggalan ini menjadi momentum penting bagi masyarakat Jawa, terutama orang muslim Jawa.
Heddy menjelaskan, berbagai ritual dan tradisi malam 1 Suro yang dianggap keramat dan mistik itu sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu kala jauh sebelum ide revolusioner Sultan Agung.
Akan tetapi, kata Heddy, tradisi-tradisi yang sebagian besar bermakna penyucian diri tersebut dilakukan terpisah karena belum bergabung antara penanggalan Islam dengan penanggalan Jawa.
"Lalu kemudian momen disatukannya kalender Jawa dengan Islam itu yang menyisakan ritual-ritual ini akhirnya tetap ada dan terjadi hingga saat ini. Kita tidak bisa meniadakan itu, justru itu mengiringi," kata Heddy.
Di sisi lain, beragam ritual dan tradisi yang membuat malam 1 Suro bercitra horor itu juga tak bisa dilepaskan dari nilai keramat Muharam.
Dalam berbagai riwayat yang diwariskan turun-temurun dalam penganut agama-agama samawi, berbagai kejadian historis seperti peristiwa banjir bandang Nabi Nuh, perlawanan Nabi Ibrahim terhadap Namruj, duel Nabi Musa melawan Fir'aun, semuanya diyakini terjadi pada bulan Muharram.
Termasuk, peristiwa pembunuhan cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali yang terjadi pada hari Assyura, 10 Muharram 61 Hiriyah. Peristiwa duka yang dikenal sebagai tragedi Karbala ini selalu diperingati oleh muslim Syiah setiap tahunnya.
"Ini yang membuat orang akhirnya mengasosiasikan bulan ini sebagai bulan yang "keramat", sehingga ada nuansa mistisnya tadi, saya menangkapnya demikian," kata Heddy yang menegaskan asumsi ini akan sulit diuji secara empirik.
(end)