Pada saat itulah, Ifan dan Hanung menangkap gejolak manusiawi dalam sosok Kiran dan digambarkan dengan sempurna oleh Aghniny. Gejolak emosi, sakit tak terucap, kekecewaan mendalam, marah, dendam, putus asa, tapi masih ada sedikit rasa lelah, asa, hingga doa tersirat di sana.
Kiran menggambarkan perasaan setiap manusia yang menghadapi ujian tak terkira dalam hidupnya, sendirian.
Lihat Juga : |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aghniny bukan cuma membawakan karakter Kiran dengan sangat apik, ia meningkatkan emosi manusiawi yang dialami Kiran hingga tembus keluar layar. Sedikit aksi laga yang jadi andalannya pun menjadi bumbu yang 'nonjok' dalam film ini.
Hanung terbilang berhasil menjaga alur dan komposisi tersebut dengan baik tanpa harus mengubah film ini menjadi film yang berat untuk dicerna penonton. Selain itu, Hanung, Ifan, dan Aghniny mampu membuat thriller film ini lebih intens dibanding yang saya duga sebelumnya.
Alur maju-mundur yang digunakan Hanung pun bisa dibilang masih sangat mudah untuk diikuti, bahkan bagi mereka yang belum pernah membaca novelnya.
Saya sepakat dengan yang dikatakan Hanung usai pemutaran perdana film ini di Jakarta Film Week 2023 soal keputusan dirinya mengubah nama film menjadi tidak plek-ketiplek judul novel karya Muhidin M Dahlan.
![]() |
Hanung kala itu mengatakan ia merasa seperti mencederai Muhidin dengan mengambil judul novel sebagai judul film ini. Karena menurutnya, film adaptasi novel tak ada yang 100 persen sama dengan versi aslinya.
Saya jadi penasaran, apakah Hanung sudah merasa seperti itu semenjak dulu kala? Atau akhirnya tersadar ketika sejumlah karya adaptasi novel dan film yang ia garap menuai banyak kritikan?
Terlepas dari itu, Hanung saya anggap bersikap bijak dan tegas untuk membedakan film ini dengan versi novelnya. Karena saya yakin, versi novel akan jauh lebih kompleks dan detail soal perjalanan Kiran.
Hanung, Ifan, dan seluruh kru film ini jelas sudah bekerja keras membungkus kisah yang sensitif bin calon kontroversi ini dengan menjaga harkat dan martabat pesan cerita novelnya. Itulah yang mestinya dipahami oleh siapapun saat menggarap ataupun menyaksikan film adaptasi novel.
Meski begitu, film ini tidak lepas dari kekurangan di luar saya memberikan tepuk tangan sepenuh hati. Hanya ada bagian dari film ini yang saya rasa mestinya bisa diganti dengan lebih baik, yakni visual efek guntur yang masih terlihat palsu.
Saya rasa Hanung mestinya bisa memberikan alternatif pengadeganan terkait cerita itu. Saya mungkin lebih bisa membayangkan saat angle kamera menyorot wajah Kiran dengan pantulan pancaran sinar dan suara guntur saat ia menyumpah serapah.
Karena jujur saja, penggunaan visual efek yang terlalu komputerisasi bila dilakukan secara sembarangan, tidak cermat, dan dengan standar seadanya seperti opera sabun, hanya akan merusak visual film. Apalagi bila sinematografi yang dilakukan Satria Kurnianto sudah terbilang pas sejak awal.
Saya punya optimisme akan Tuhan, Izinkan Aku Berdosa bila nanti sudah waktunya tayang. Meski, saya tak bisa pungkiri, saya juga ikut penasaran bagaimana film ini akan direspons oleh masyarakat Indonesia yang dikenal sentimental bin emosional bila terkait dengan agama.
Namun itulah nasib film sebagai karya seni, akan selalu ada sudut pandang berbeda dalam menafsirkan sebuah gambar bergerak.
(end)