Sedari detik pertama, penonton akan dibius dengan keindahan angle kamera karya Dariusz Wolski serta nuansa medieval era yang diiringi scoring mantap dari Martin Phipps.
Kombinasi keduanya melahirkan efek sinematik level tinggi yang dieksekusi dengan wardrobe dan perangkat-perangkat penunjang lain untuk memanjakan mata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, bila berkaca dari penegasan Scott soal benang merah film ini adalah mengangkat kisah cinta Napoleon dan Josephine, sutradara Inggris itu tampak terlalu bertumpu pada ketersediaan fakta sejarah yang seadanya. Bahkan, tampak terkesan mengada-ada.
Untuk film ini, Scott menggunakan perang-perang besar yang selama ini mengiringi kisah sukses Bonaparte. Dimulai dengan Perang Toulon, Perang Austerlitz, Perang Borodino, hingga kekalahan ikonis sang Kaisar di Waterloo.
Dalam merangkai sisipan-sisipan sejarah penting itu, Scott seperti hanya sedang menempelkan segudang informasi dari laman Wikipedia dan kemudian diperindah lewat glamor aspek teknis serta penampilan dua bintang utama, Joaquin Phoenix dan Vanessa Kirby.
Saya jadi bertanya akan narasi dan pesan yang ingin disampaikan oleh Scott melalui duo Phoenix dan Kirby yang terus menerus memadu kasih layaknya remaja tanggung di sepanjang film.
Namun menurut amatan pribadi, Scott agaknya ingin menonjolkan sisi maskulinitas rapuh dari Bonaparte melalui penampilan Phoenix yang memang mendukung untuk karakter itu.
Dengan banyaknya ketersediaan yang sebenarnya dapat digali melalui kisah-kisah legendaris Napoleon Bonaparte, agak disayangkan Scott lebih memilih untuk tidak terlalu faktual terkait penggunaan konteks sejarah.
Padahal, premis mengenai kisah dramatis antara Bonaparte dan Joséphine sudah sangat tepat digunakan oleh Scott di film ini. Kisah itu juga dapat memengaruhi sisi ambisius Bonaparte untuk menaklukkan seluruh Eropa dan wilayah lain di luar laut Mediterania.
Kedua elemen yang saling berkaitan tersebut seakan hadir terpisah, sehingga dapat menjadi sangat membosankan bagi para penonton awam. Maka dari itulah, Scott tampak kewalahan sendiri dalam melahirkan romansa salah satu patron penting di sejarah peradaban Eropa ini.
Film Napoleon bagai menggambarkan bagaimana ambisi salah satu pemimpin paling digdaya sepanjang masa ini tampaknya lebih memengaruhi benak Scott yang diharapkan bisa meraih Piala Oscar pertamanya.
Hal itu mengingatkan saya akan tragedi Napoleon di Waterloo. Kala itu, ia harus berhadapan dengan realita menakutkan dari kekuatan koalisi Inggris dan Prussia dan membuahkan keruntuhan kekuasaan Bonaparte.
Serupa dengan Napoleon yang dihadirkan kembali oleh Scott dalam film ini, sutradara Inggris itu tampaknya harus berpuas diri dengan ambisi besar yang cuma bisa bertengger di kepalanya. Napoleon, kini tak akan lagi bisa digdaya.
(end)