Jakarta, CNN Indonesia --
Peperangan, sejarah, dan kisah cinta memang sulit dipisahkan dari kehidupan Napoleon Bonaparte. Maka dari itu, film Napoleon karya Ridley Scott yang lebih fokus pada aspek asmara terasa bagai kuda ksatria yang berjalan pincang, terlihat indah tapi ganjil.
Sejak awal film ini memang sudah dinantikan banyak pihak, terutama mereka yang bergelut dalam aspek sejarah Eropa mengingat Napoleon adalah salah satu nama yang membentuk peradaban Eropa secara tak langsung lewat penaklukannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak lama pula para sejarawan sudah mengkritik bagaimana Scott akan mengisahkan Napoleon dalam film ini. Sejarawan, yang semula cuma bermodal trailer, melihat film yang dibintangi Joaquin Phoenix ini cacat dalam sejarah.
Kini ketika saya sendiri melihatnya secara utuh, kekhawatiran para sejarawan ada benarnya. Meski sejak awal pula, Scott menegaskan film Napoleon yang dibuat berdasarkan naskah David Scarpa ini mengangkat sisi drama romantis dari kaisar Prancis itu dengan Joséphine.
Namun tetap saja, dalam menunjang romansa yang dramatis, Scott tentu wajib untuk menyisipkan elemen-elemen sejarah yang krusial seperti adegan peperangan dan pertempuran yang menjadi aliran darah dalam hidup Napoleon.
Dengan durasi yang panjang sekitar 158 menit atau 2,5 jam lebih, Scott tampak kelabakan bagaimana menonjolkan salah satu aspek dalam hidup Napoleon dibanding aspek sejarah dan peperangan yang ada dalam sosok besar itu.
 Review film Napoleon: Ridley Scott tampak kewalahan sendiri untuk mewujudkan ambisinya menggambarkan sosok penguasa digdaya Eropa dalam sejarah. (Tangkapan layar YouTube Sony Pictures Entertainment) |
Tanpa mendasari latar belakang kehidupan Napoleon yang berasal dari Ajaccio, Kepulauan Corsica di Laut Mediterania, Scott langsung memulai narasi film ini dengan adegan pemenggalan Marie Antoinette.
Bagi non-penikmat sejarah, adegan di momen Revolusi Prancis tersebut mungkin akan terasa janggal dan tak mengenakkan. Pun kisah latar berupa ambisi besar Napoleon pascarevolusi Prancis tak ternarasikan dengan cukup atau mengundang minat penonton awam.
Dari sana, saya menjadi mengerti kekhawatiran para budayawan dan sejarawan terkait potensi distorsi historikal yang dapat terjadi melalui penayangan film Napoleon.
Contohnya adalah dari pengucapan "begundal Corsica" yang banyak dan sering diucapkan para anti-Bonaparte di sejumlah adegan krusial film ini. Bagi saya, tanpa referensi sejarah yang memadai, hal itu akan mengganggu keberlangsungan cerita yang dibangun di sepanjang film.
Beruntung, Scott dikenal memiliki eksekusi yang amat baik ketika berbicara soal sinematografi dan detail-detail kecil terkait teknis dan produksi.
Lanjut ke sebelah...
[Gambas:Video CNN]
Sedari detik pertama, penonton akan dibius dengan keindahan angle kamera karya Dariusz Wolski serta nuansa medieval era yang diiringi scoring mantap dari Martin Phipps.
Kombinasi keduanya melahirkan efek sinematik level tinggi yang dieksekusi dengan wardrobe dan perangkat-perangkat penunjang lain untuk memanjakan mata.
Namun, bila berkaca dari penegasan Scott soal benang merah film ini adalah mengangkat kisah cinta Napoleon dan Josephine, sutradara Inggris itu tampak terlalu bertumpu pada ketersediaan fakta sejarah yang seadanya. Bahkan, tampak terkesan mengada-ada.
Untuk film ini, Scott menggunakan perang-perang besar yang selama ini mengiringi kisah sukses Bonaparte. Dimulai dengan Perang Toulon, Perang Austerlitz, Perang Borodino, hingga kekalahan ikonis sang Kaisar di Waterloo.
Dalam merangkai sisipan-sisipan sejarah penting itu, Scott seperti hanya sedang menempelkan segudang informasi dari laman Wikipedia dan kemudian diperindah lewat glamor aspek teknis serta penampilan dua bintang utama, Joaquin Phoenix dan Vanessa Kirby.
Saya jadi bertanya akan narasi dan pesan yang ingin disampaikan oleh Scott melalui duo Phoenix dan Kirby yang terus menerus memadu kasih layaknya remaja tanggung di sepanjang film.
[Gambas:Video CNN]
Namun menurut amatan pribadi, Scott agaknya ingin menonjolkan sisi maskulinitas rapuh dari Bonaparte melalui penampilan Phoenix yang memang mendukung untuk karakter itu.
Dengan banyaknya ketersediaan yang sebenarnya dapat digali melalui kisah-kisah legendaris Napoleon Bonaparte, agak disayangkan Scott lebih memilih untuk tidak terlalu faktual terkait penggunaan konteks sejarah.
Padahal, premis mengenai kisah dramatis antara Bonaparte dan Joséphine sudah sangat tepat digunakan oleh Scott di film ini. Kisah itu juga dapat memengaruhi sisi ambisius Bonaparte untuk menaklukkan seluruh Eropa dan wilayah lain di luar laut Mediterania.
Kedua elemen yang saling berkaitan tersebut seakan hadir terpisah, sehingga dapat menjadi sangat membosankan bagi para penonton awam. Maka dari itulah, Scott tampak kewalahan sendiri dalam melahirkan romansa salah satu patron penting di sejarah peradaban Eropa ini.
[Gambas:Youtube]
Film Napoleon bagai menggambarkan bagaimana ambisi salah satu pemimpin paling digdaya sepanjang masa ini tampaknya lebih memengaruhi benak Scott yang diharapkan bisa meraih Piala Oscar pertamanya.
Hal itu mengingatkan saya akan tragedi Napoleon di Waterloo. Kala itu, ia harus berhadapan dengan realita menakutkan dari kekuatan koalisi Inggris dan Prussia dan membuahkan keruntuhan kekuasaan Bonaparte.
Serupa dengan Napoleon yang dihadirkan kembali oleh Scott dalam film ini, sutradara Inggris itu tampaknya harus berpuas diri dengan ambisi besar yang cuma bisa bertengger di kepalanya. Napoleon, kini tak akan lagi bisa digdaya.