Komisioner LMKN Marcell Siahaan sebelumnya mengatakan skema direct license tak disarankan karena tidak diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.
Marcell juga mengatakan sistem semacam direct licensing dapat menimbulkan risiko, salah satunya yakni potensi pencipta lagu mematok tarif tinggi di luar kesepakatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Undang-undang kita tidak menganut sistem itu. Justru yang tidak disarankan oleh undang-undang kita adalah direct licensing," ujar Marcell, seperti diberitakan detikhot pada Kamis (11/1).
"Karena itu tadi, menyulitkan, menyusahkan, lalu kemudian orang-orang bisa dengan seenaknya menggetok orang untuk bayar berapa pun tarif yang dia mau," lanjutnya.
Sementara itu, musisi senior sekaligus salah satu Dewan Pembina Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) Candra Darusman menilai kemunculan direct license terjadi karena model penyerapan royalti secara blanket license mengundang resistensi lantaran ada gap besar antara pendapatan pencipta lagu dengan penyanyi yang membawakan lagunya.
Meski sistem langsung dipandang "masuk akal secara logika sederhana", Candra justru menilai ada celah besar dan konsekuensi jangka panjang yang dihadapi bila cara ini jadi satu-satunya model pembayaran royalti.
"Sistem blanket [kolektif via LMK] memungkinkan pencipta yang kurang terkenal turut kecipratan royalti dari sebuah konser," kata Candra kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
"Sementara, sistem direct mengandung risiko hal ini [pencipta kurang terkenal] jadi terabaikan. Walaupun pencipta lagu top bisa memperbaiki nasibnya," katanya.
"Sistem blanket tarifnya pasti. Sementara sistem direct bisa bervariasi, membuat ketidakpastian di pihak pembayar dan penerima," kata Candra Darusman.
(frl/chri)