Di sisi lain, interaksi antarmanusia tentu menjadi tantangan lain yang perlu diurus. Samsara cukup sukses menyuguhkan interaksi tersebut dengan tanpa dialog sama sekali.
Penampilan impresif para pemeran membuat setiap karakter sanggup 'berbicara' dengan bahasa tubuh. Tari-tarian hingga scoring musik juga kian membuat film ini menjadi semakin hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, saya tidak menyangkal ada bagian membuat dahi berkerut. Beberapa adegan Samsara ditampilkan dengan pesan tersirat, sehingga berpotensi multitafsir bagi penonton.
Namun, bagi saya situasi itu bukan suatu persoalan karena pada akhirnya setiap penonton bebas membuat interpretasi atas apa pun yang dilihat di layar.
Dunia sinematik Samsara dipertegas lewat scoring musik dan sinematografi yang solid. Imajinasi liar Garin berhasil melebur dengan eksekusi orang-orang di balik audio visual film tersebut.
Batara Goempar sebagai sinematografer sanggup menunaikan tugasnya menyuguhkan visual magis yang memanjakan mata.
![]() |
Kolaborasi lintas genre dari I Wayan Sudirana dan GMO juga sukses mengatur intensitas babak demi babak cerita Samsara.
Adakala penonton merasa syahdu karena alunan gamelan, lalu berubah jadi sakral bak mengikuti sebuah ritual, hingga terasa mencekam karena gubahan musik elektronik yang menderu.
Dengan capaian ini, tidak heran jika Samsara bisa menyabet Piala Citra untuk kategori Penata Musik Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, hingga Penata Busana Terbaik.
Satu Piala Citra lain yang dianugerahkan kepada Garin juga nyaris tidak terbantahkan. Ia sanggup menyajikan karya yang begitu mencolok di antara rilisan lain sepanjang tahun ini.
Tantangan berikutnya bagi Samsara akan muncul saat film itu tayang reguler di bioskop, terutama untuk suguhan musik yang tidak lagi dimainkan secara langsung.
Jika sanggup menawarkan sajian yang sebanding dengan versi cine-concert, Samsara menjadi salah satu film yang pantas disaksikan di layar lebar.
(chri)