Jakarta, CNN Indonesia --
Drama Korea sudah mulai membentuk basis penggemar sejak pertama kali dibuat dan disiarkan oleh KBS pada 1962. Selama berdekade berikutnya, drama Korea menjadi acara hiburan televisi yang dinikmati bukan hanya secara nasional tetapi global.
Lewat drama Korea pula, para aktor yang bermain di dalamnya mendulang popularitas. Sebut saja Lee Minho yang makin moncer setelah Boys Over Flower (2009), atau Song Hye-kyo dari Ful House (2004) dan World's Within (2008), atau Hyun Bin dari Secret Garden (2004).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tayangan televisi asal Korea Selatan ini juga menyajikan serial dari berbagai genre, mulai dari romansa tragis antaranak SMA seperti Winter Sonata (2001), seri sejarah atau periodic drama macam Jewel in The Palace (2004), seri remaja atau adaptasi komik macam Boys Over Flower (2009) yang ikut menggambarkan 'kasta' sosial.
Berbagai genre ini terus diproduksi hingga saat ini dan mengisi waktu harian penonton dari berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Indonesia bukan berarti tidak memiliki serial macam drama Korea. Sejak stasiun televisi cuma ada TVRI, serial Aku Cinta Indonesia (1985) yang berkisah cinta-cintaan remaja berbungkus patriotisme gagasan rezim era itu sudah ditonton masyarakat.
 Film Keluarga Cemara (2018) dari serial Keluarga Cemara (1996). (Dok. Visinema Pictures via youtube) |
Serial Indonesia juga berevolusi seiring perubahan zaman. Pada dekade '80 hingga '90-an, banyak serial berpusat pada kehidupan keluarga yang indah hingga polemik di dalam keluarga serta antarwarga, macam Rumah Masa Depan (1984), Losmen (1986), atau Keluarga Cemara (1996) yang kembali hidup pada 2018.
Memasuki dekade pertama milenium baru, istilah sinetron alias sinema elektronik dikenal dengan tema yang juga berbeda, yakni kisah remaja dan percintaan haru-biru. Sebut saja Pernikahan Dini, Bidadari, Buku Harian Nayla, Cinta SMU, Inikah Rasanya, dan Senandung Masa Puber.
Ada juga film layar lebar yang diadaptasi jadi sinetron, seperti Ada Apa dengan Cinta The Series dan Lupus Milenia dari novel kondang seri Lupus. Tema humor dan situasi sosial juga laku keras pada masa itu, seperti Si Yoyo, Ronaldowati, atau Bajaj Bajuri. Bahkan tema gay dan kompleksitasnya juga tayang dalam Arisan! The Series yang adalah adaptasi dari film Arisan! (2003).
 Perbedaan Model Produksi Drakor Vs Sinetron. (Basith Subastian/CNNIndonesia) |
Dikejar tayang, dikejar kritik
Namun ledakan produksi sinetron sesungguhnya benar-benar terasa selama dekade setelahnya. Episode terpanjang, judul terbanyak, dan popularitas tinggi para pemain dan rumah produksi terjadi pada 2010-2020.
Tukang ojek Pengkolan (2015-2023) lebih dari 3000 episode, Tukang Bubur Naik Haji (2012-2017) lebih dari 2000 episode, Cinta Fitri (2007-2011) lebih dari 1000 episode, adalah beberapa judul yang menduduki peringkat 10 terlama dan terbanyak.
Ribuan episode ini menggarisbawahi perubahan mendasar karakter sinetron Indonesia, dari seri tahunan (seasonal) yang digarap pelan untuk tayangan seminggu sekali menjadi tayangan harian. Istilah kejar tayang pun naik daun, menunjukkan bagaimana produksi untuk malam hari bahkan dipaksa selesai baru pada sore harinya.
Situasi ini sangat mengancam kualitas dan kedalaman cerita yang disajikan di layar. Bandingkan dengan serial Friends misalnya, yang bertahan selama 10 tahun (1994-2004) dan hanya mampu menghasilkan total 236 episode.
Kritik muncul bertubi-tubi mempersoalkan jalan cerita tak jelas, episode yang nampak dipanjang-panjangkan sekedar memenuhi aspirasi pengiklan, jam kerja kru yang tidak manusiawi, dan penggambaran situasi sosial yang jauh dari realitas.
Namun kritik boleh lalu, sinetron kejar tayang tetap melaju. Hingga 2025 praktik ini belum berubah.
Lanjut ke sebelah...
[Gambas:Video CNN]
Di sisi lain, meski juga punya dramaseri dengan episode panjang, sinetron di Korea Selatan justru bergerak ke arah sebaliknya dengan Indonesia. Sejak 2000-an, industri tontonan televisi mereka bergerak ke seri pendek antara rata-rata 16 atau maksimal 20 episode.
Drama Korea era modern berpegang pada serial single-season berkualitas tinggi, di mana sebelum tayang semua proses produksinya biasanya sudah beres (pre-production). Dengan begini, upaya menjaga kualitas bisa dilakukan lebih ketat bahkan termasuk jadwal iklan dan rencana ekspor ke seluruh dunia.
Strategi ini memungkinkan penikmat drakor luar Korea menikmati jadwal yang hampir sama cepatnya dengan episode yang diputar di dalam negeri. Akibatnya, hype judul yang ditonton dirasakan hampir simultan di seluruh dunia, seperti yang terjadi dengan Descendents of the Sun (2014), Goblin (2016), dan Crash Landing on You (2019).
Dengan fokus pada hanya belasan sampai maksimum 20 episode per judul, drakor justru menjadi sangat produktif dan efektif dalam pemasaran.
Pertama, mereka berhasil mengontrol kualitas. Kedua, drakor berhasil memenuhi permintaan pasar global terus-menerus dengan judul-judul baru. Pada 2022, tepat setelah keluar dari belenggu pandemi Covid-19, total produksi drakor mencapai 160 judul. Nyaris 1 judul baru tiap 2,5 hari.
Kuncian lain untuk drakor yang berhasil bikin penonton mania tentu saja budget produksi. Dewasa ini anggaran drakor sudah mencapai miliaran won setiap episodenya, setara dengan puluhan miliar rupiah.
 Crash Landing on You (2019). (dok. tvN via HanCinema) |
Seri Squid Game misalnya, season 1 dan 2 yang berjumlah total 16 episode, diberitakan memakan biaya 100 miliar won atau hampir Rp1,2 triliun, berarti bernilai Rp74 miliar per episodenya.
Di Indonesia, jumlah biaya sebesar itu bahkan sudah bisa mengongkosi film termahal. Misalnya 13 Bom di Jakarta (2023) yang berbiaya Rp75 miliar dan disebut sebagai film termahal pada 2023.
Sementara untuk sinetron biayanya pada periode sebelum 2020-an mencapai Rp300-400 juta per episode. Sekarang ini diperkirakan biayanya antara Rp500-800 juta, atau maksimal Rp1 miliar untuk sinetron berbujet besar.
Pembiayaan serial Indonesia yang paling mendekati dengan drakor mungkin adalah Gadis Kretek (2023) yang konon mencapai Rp2-6 miliar per episode. Baik Gadis Kretek maupun Squid Game sama-sama ditayangkan di platform berbayar Netflix, tapi jelas biaya produksi drama yang dibintangi Dian Sastrowardoyo itu cuma sekitar 5 persen dari biaya drakor pesaingnya.
Mungkinkah di Indonesia?
Di tengah redupnya industri media dan basis pemirsa televisi di seluruh dunia, industri tontonan justru terus tumbuh secara global.
Di Korea Selatan, penonton yang membayar setidaknya satu layanan streaming/OTT bisa mencapai 40-50 persen populasi nasional. Sementara di Indonesia yang penduduknya enam kali Korsel, masyarakat yang langganan OTT baru tiga persen.
Ini berarti potensi untuk membesar sangat terbuka dan pasar merespon positif. Seri Private Bodyguard misanya, berhasil meraih total tayang 52 juta kali dalam 8 episode selama Ramadan tahun lalu. Atau serial Layangan Putus yang fenomenal pada 2021 dan ditonton 15 juta kali dalam sehari.
 Agar Sinetron Bisa Sesohor Drakor. (Basith Subastian/CNNIndonesia) |
Gadis Kretek yang bergerak dalam genre fiksi historis tentang laju-surut industri kretek di Indonesia dan berbalut kisah cinta serya drama keluarga itu juga mampu mendulang kesuksesan.
Serial adaptasi novel Ratih Kumala peraih 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2012 itu jadi serial Netflix orisinal Indonesia pertama yang masuk daftar 10 teratas acara non-berbahasa Inggris paling ditonton secara global selama dua minggu berturut-turut.
Sukses penayangan Gadis Kretek yang hanya terdiri dari 5 episode juga menunjukkan bahwa resep sukses ala drakor seperti produksi dan cerita yang efektif hingga strategi pemasaran yang tepat sangat mungkin ditiru di Indonesia.
Dengan formula yang sama, bukan mustahil drama seri orisinal Indonesia punya peluang bersaing di arena global bersama produk drakor.
[Gambas:Video CNN]