Review Film: Wicked For Good

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Jumat, 21 Nov 2025 20:10 WIB
Review Wicked For Good: Mungkin ada film yang lebih layak sebagai Best Picture di Oscar, tapi dua seri Wicked ini sudah menjadi legasi tersendiri dalam catatan film musikal dunia. (dok. Universal Pictures via IMDb)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sebenarnya tak perlu ada ekspektasi apa pun dalam menyaksikan Wicked: For Good, mengingat film ini sejatinya adalah potongan lanjutan dari Wicked yang rilis pada 2024.

Mengingat bahwa momen produksi kedua film ini berlangsung bersamaan, juga didasarkan pada naskah yang dibuat dalam waktu yang sama, saya justru kaget saat melihat betapa beda atmosfer antara dua film tersebut.

John M Chu bersama tim penulis Winnie Holzman dan Dana Fox membuat penonton seolah memang menyaksikan pementasan yang babaknya terbagi secara jelas antara bagian pertama dengan kedua.

Pada bagian pertama, Chu lebih banyak memberikan gambaran manis soal Land of Oz dengan segala keajaibannya yang penuh warna dan kebahagiaan, serta kisah awal Elphaba yang memancing rasa iba. Maka tak heran, ada begitu banyak yang tersihir dengan Wicked (2024).

Namun dalam babak kedua ini, Chu bersama tim penulis mengubah atmosfer menjadi lebih berat. Mulai dari konflik antara pemberontak dengan tirani, kisah cinta segi banyak, intrik politik dan pencitraan publik, hingga drama keluarga. Kasarnya, semua masalah yang sudah terpendam sejak awal film pertama, meledak dalam 137 menit.

Mengingat Holzman adalah orang yang juga menulis pertunjukan musikal inspirasi film ini, maka tidak heran bila alur ceritanya tidak banyak berbeda antara versi teater musikal. Hanya saja, Wicked: For Good ini tidak semagis bila dibandingkan dengan bagian pertamanya.

Bukan berarti lebih buruk, karena toh memang bersumber dari satu naskah yang sama. Namun karena film ini dimulai langsung saat cerita sudah masuk bagian masalah dan jeda yang hampir setahun sejak bagian pertama, hal itu saya rasa sedikit banyak memengaruhi seberapa cepat kemampuan film ini bisa langsung merangkul penonton.

Ibarat kata, menyaksikan bagian kedua ini seperti Boq yang ingin kembali ke Emerald City setelah sekian lama terkurung di Munchkinland, tetapi bingung ternyata peraturan sudah banyak berubah.

Apalagi, kalau boleh jujur, saya lebih suka lagu-lagu yang tersaji dalam bagian pertama. Terutama Defying Gravity yang dibawakan dengan sempurna oleh Cynthia Erivo.

Pada bagian kedua ini lagu-lagunya juga tetap menarik, seperti Thank Goodness/I Couldn't Be Happier yang berada di awal film. Namun For Good yang saya harapkan bisa 'setara' dengan Defying Gravity ternyata tidak tampil se-gong itu.

Justru saya lebih tersentuh dengan lagu The Girl in the Bubble yang dibawakan Ariana Grande. Mungkin bisa dibilang lagu tersebut adalah yang paling sentimentil dan rapuh dari sosok Glinda dan Ariana Grande menampilkannya dengan sempurna.

Wicked: For Good: Kali ini, Ariana melahap semua tantangan kompleksitas emosi dan psikologis Glinda yang adalah people pleaser. (dok. Universal Pictures via IMDb)

Bicara soal Ariana Grande, saya jauh lebih mengapresiasi penampilannya dalam Wicked: For Good dibanding pada bagian pertama tahun lalu.

Kali ini, Ariana melahap semua tantangan kompleksitas emosi dan psikologis Glinda yang adalah people pleaser. Ariana menunjukkan dengan pas sosok yang berusaha tetap tersenyum dan baik-baik saja padahal ia sangat tidak terlihat demikian.

Bila sebelumnya Ariana Grande terasa belum sebegitu tepat waktunya untuk mendapatkan Piala Oscar, kali ini saya rasa ia sudah siap untuk mendapatkan lebih dari sekadar nominasi Best Supporting Actress.

Bukan hanya Grande, Cynthia Erivo menunjukkan konsistensi yang prima sebagai Elphaba Thropp, walaupun bagian kedua ini lebih banyak menggambarkan aspek lembut dari si penyihir kulit hijau tersebut.

Salah satu yang menarik perhatian saya dari cerita kelembutan Elphaba adalah saat beradegan bersama dengan Fiyero Tigelaar yang diperankan Jonathan Bailey. Ketika melihat aksi Bailey berhadapan dengan Erivo dalam Wicked: For Good, saya paham mengapa People memilihnya sebagai Sexiest Man Alive 2025.

Wicked: For Good: hal yang membuat teringat akan Crazy Rich Asians (2018) adalah saat adegan pernikahan Glinda dengan Fiyero. (dok. Universal Pictures via IMDb)

Jeff Goldblum juga tampil lebih menarik pada Wicked: For Good dibanding sebelumnya. Aktor dan musisi legendaris tersebut tampil sangat energik untuk usianya yang sudah 73 tahun.

Begitu juga dengan Michelle Yeoh yang tampil dengan sangat meyakinkan menjadi ibu-ibu berkuasa yang menyebalkan, Madame Morrible, mengingatkan saya akan dirinya sebagai Eleanor dalam Crazy Rich Asians (2018).

Selain Michelle Yeoh, hal yang membuat saya juga teringat akan Crazy Rich Asians (2018) adalah saat adegan pernikahan Glinda dengan Fiyero. Chu memang paham betul bagaimana menggambarkan prosesi pernikahan idaman.

Mulai dari wedding dress, dekorasi, mood dan suasananya, hingga persoalan lighting dan bagaimana mengarahkan bride berjalan menuju altar, John M Chu seolah adalah penulis manual guide berjudul how to make a dream wedding comes true.

Review film Wicked: For Good: dua film Wicked ini mungkin setara dengan film kolosal. (dok. Universal Pictures via IMDb)

Terlepas dari persoalan cerita, musik, pemain, dan sutradara, saya ingin mengapresiasi setinggi-tingginya untuk para kru, perancang set, hingga penari dan kameo yang terlibat dalam film ini.

Bagi saya, dua film Wicked ini mungkin setara dengan film kolosal. Saya tidak terbayang berapa lama mereka membangun set di dalam studio, berlatih koreografer segitu banyaknya, hingga bernyanyi langsung di lokasi syuting. Belum lagi produksi film ini sempat terhalang pandemi dan mogok SAG-AFTRA 2023.

Meski mungkin ada film yang lebih layak menyandang sebagai Best Picture di ajang Oscar, bagi saya dua seri Wicked ini sudah menjadi legasi tersendiri dalam catatan film musikal dunia.

(end)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK