Jakarta, CNN Indonesia -- Sumpah Pemuda dicetuskan dan diikrarkan para pemuda pada 28 Oktober 1928, pada saat Kongres Pemuda II di Jakarta. Di balik sumpah dan kongres ini sebetulnya ada beberapa tokoh yang menonjol dan menarik untuk diingat kembali peran dan jasanya. Tentu saja, biar kita bisa belajar dari mereka.
Di antara sejumlah tokoh itu sebut saja: Soegondo Djojopuspito, Mohammad Yamin, Amir Sjarifudin, Wage Rudolf Supratman, Prof. Sunario Sastrowardoyo, dan Sie Kok Liong. Berikut ini kisah mereka, yang dikutip dari berbagai sumber:
Sosok ini berusia sekitar 23 tahun ketika peristiwa Sumpah Pemuda terjadi. Dialah pemimpin Kongres Pemuda II, yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda.
Sosok ini lahir di Tuban, Jawa Timur, 22 Februari 1905, putra seorang penghulu dan mantri juru tulis desa. Setelah ibunya wafat ketika Soegondo masih kecil, keluarga mereka pindah ke Brebes, Jawa Tengah.
Soegondo menempuh pendidikan sekolah menengah di Tuban, Surabaya, dan Yogyakarta. Dengan beasiswa dan bantuan pamannya, Soegondo kuliah di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Rechtshoogeschool te Batavia, yang menjadi cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekarang.
Ketika itu, di saat semua pemuda ikut organisasi pemuda, Soegondo bergabung ke Persatuan Pemuda Indonesia. Nah pada 1928, ketika Kongres Pemuda II akan digelar, Mohammad Hatta, Ketua PPI di Belanda, menyetujui Soegondo menjadi Ketua Kongres Pemuda II. Ketua dipilih dari PPI karena organisasi ini adalah wadah pemuda independen, tak berdasarkan kesukuan.
Setelah era Sumpah Pemuda, yakni periode 1928-1942, Soegondo ikut mendirikan Perguruan Rakyat dan diangkat menjadi kepala sekolah. Sekolah ini berdiri di Gang Kenari nomor 15, Salemba. Ia sempat menjadi simpatisan Partai Nasional Indonesia pimpinan Ir. Soekarno, yang kelak menjadi Presiden RI yang pertama.
Selain sebagai pendidik dan tokoh di Perguruan Tamansiswa, Soegondo ternyata pernah menjadi wartawan lho. Ia jadi wartawan lepas di De Bataviaasch Nieuwsblad. Pada 1941, ia dipercaya menjadi Direktur Kantor Berita Antara. Adam Malik, sosok yang kelak menjadi Wakil Presiden RI, menjadi redaktur dan merangkap Wakil Direktur.
Jabatan tertinggi yang pernah dipegangnya adalah Menteri Pembangunan Masyarakat dalam Kabinet Halim di era Republik Indnesia Serikat (RIS). Soegondo wafat pada 1978 dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Besar Tamansiswa di Umbulharjo, Yogyakarta. Pria ini berusia sekitar 25 tahun ketika peristiwa Sumpah Pemuda terjadi. Di Kongres Pemuda II, Yamin dipilih sebagai Sekretaris.
Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, pada 23 Agustus 1903, dan besar di keluarga yang kelak sebagian besar menjadi tokoh dalam republik ini.
Sebagaimana Soegondo Djojopuspito, Yamin juga kuliah di Rechtschoogeshcool te Batavia dan meraih Sarjana Hukum pada 1932. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan pemuda, Yamin juga getol menulis di bidang sastra. Ia banyak menulis karya sastra berbahasa Melayu di jurnal Jong Sumatera. Ia adalah penulis Tanah Air, himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan. Pada 28 Oktober 1928, dia menerbitkan Tumpah Darahku, kumpulan puisi kedua, bertepatan dengan momentum Kongres Pemua II.
Karier politik Yamin dimulai saat bergabung dengan Jong Sumatranen Bond dan ikut menyusun Sumpah Pemuda. Ia pernah bergabung dengan Partindo dan kemudian mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia. Tahun 1939 ia terpilih jadi anggota Volksraad, semacam DPR pada era pendudukan Belanda.
Di era pendudukan Jepang, Yamin bertugas di Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebelum menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Salah satu perannya di sana adalah memasukkan hak asasi manusia dalam konstitusi negara.
Setelah kemerdekaan, Yamin menjadi anggota DPR, Menteri Kehakiman, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Menteri Urusan Sosial dan Budaya, Ketua Dewan Perancang Nasional, Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara, dan Menteri Penerangan.
Saat menjadi Menteri Pendidikan, Yamin mendorong pendirian universitas-universitas negeri dan swasta di Indonesia. Salah satu yang ia dirikan adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat.
Yamin wafat di Jakarta pada 17 Oktober 1962. Nama lengkapnya adalah Amir Sjarifoeddin Harahap. Ia berusia 21 tahun ketika peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan jabatannya dalam Kongres Pemuda II adalah bendahara. Dia berasal dari kelompok Jong Bataks Bond.
Awalnya beragama Islam, Amir menjadi Kristen pada 1931. Ada catatan dia pernah berkotbah di gereja protestan terbesar, Batak Batavia.
Semasa jadi pelajar di Leiden, Belanda, Amir banyak terlibat dalam diskusi kelompok pemuda Kristen, seperti CSV-op Java, cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Pada 1927 dia kembali ke Indonesia dan masuk Sekolah Hukum di Batavia. Dia kemudian tinggal di rumah kos pelajar Indonesisch Clubgebouw di Kramat 106, milik Sie Kok Liong. Dia bisa ke sini lantaran ditampung seniornya satu sekolah, Muhammad Yamin.
Pada 1931 Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sembari menulis dan jadi redaktur di Poedjangga Baroe.
Amir terbilang tokoh yang radikal dan kontroversial. Menjelang kedatangan Jepang misalnya, Amir menggalang gerakan antifasisme dengan Belanda untuk menghadapi serbuan Jepang. Padahal, rekan-rekannya memilih ‘percaya’ pada janji-janji Jepang memberikan kemerdekaan setelah Belanda dikalahkan.
Pasca proklamasi 1945, Amir banyak menduduki jabatan penting di pemerintahan. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, dan bahkan menjadi Perdana Menteri. Tapi hasil perjanjian Renville mengubah nasibnya.
Pada perjanjian itu, Amir adalah negosiator utama Indonesia. Tapi hasil perjanjian itu tak menguntungkan Indonesia sehingga ia dikecam di sana-sini. Dia kemudian bergabung dengan Musso, menganjurkan Indonesia merapat ke Uni Soviet.
Pada 1948 ini pula karier politiknya tercoreng Peristiwa Madiun 1948. Sebagai salah satu tokoh Partai Komunis Indonesia, Amir ditangkap dengan tuduhan PKI hendak membentuk negara komunis di Madiun. Pihak militer mendapat informasi intelijen bahwa PKI mengangkat Musso sebagai presiden dan Amir sebagai Perdana Menteri.
Saat peristiwa Madiun meletus, September 1948, Amir sedang berada di Yogyakarta, dalam rangka kongres Serikat Buruh Kereta Api. Ia kemudian dieksekusi tanpa diadili. Lebih dikenal dengan nama W.R. Supratman, ia berusia 25 tahun ketika Sumpah Pemuda terjadi. Di Kongres Pemuda II ini dia memperkenalkan untuk pertama kali lagu Indonesia Raya dengan permainan biola.
Supratman besar di Makassar sebelum pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Ia kemudian pindah ke Jakarta dan tetap bekerja sebagai wartawan. Tapi pada saat yang sama dia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Pintar memainkan biola, Supratman kemudian bisa menggubah lagu. Pada 1924 ia menggubah lagu Indonesia Raya dalam usia 21 tahun. Lagu ini kemudian diperdengarkan pada Kongres Pemuda II di Jakarta.
Lagu ini dengan cepat tersebar ke mana-mana, terutama dalam berbagai pertemuan kaum pergerakan nasional. Partai-partai politik kerap memperdengarkan lagu itu saban menggelar kongres.
Akibat menciptakan lagu ini, Supratman diburu-buru oleh polisi Belanda. Dia ditangkap saat menyiarkan lagu terakhirnya “Matahari Terbit” pada Agustus 1938 dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Dia meninggal pada 17 Agustus 1938 lantaran sakit. Profesor Sunario berusia 26 tahun ketika Sumpah Pemuda dicetuskan. Dia meraih gelar sarjana hukum pada Desember 1925 dan menjadi pengacara. Dia banyak membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda.
Di Kongres Pemuda II, Sunario bertindak sebagai penasihat panitia. Dia juga sempat jadi pembicara dengan makalah “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”.
Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sunario menjadi anggota dan kemudian anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Dia kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dan jadi Ketua Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955.
Setelah itu, Sunario sempat menjadi duta besar di Inggris, sebelum akhirnya banyak berkecimpung dalam pendidikan tinggi, dengan menjadi guru besar politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro Semarang, Rektor IAIN Al-Jami’ah Al-Islamiyah A-Hukumiyah, cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Kalian jarang mendengar nama tokoh ini, bukan? Ya, Sie Kok Liong memang jarang disebutkan dalam buku sejarah. Padahal, rumahnya adalah tempat pelaksanaan Kongres Pemuda II dan di sanalah kemudian dicetuskan Sumpah Pemuda.
Rumahnya, di Jalan Kramat Raya Nomor 106, yang kini menjadi Gedung Sumpah Pemuda, adalah rumah kos pelajar dan mahasiswa di Jakarta saat itu. Tapi beberapa tokoh pergerakan saat itu, seperti Mohammad Yamin, Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Mohammad Tamzil dan Assaat dt Moeda, pernah tinggal di sana.
Sejumlah pemuda yang tergabung dalam Jong Java tinggal di sana sejak 1025. Kebanyakan mereka adalah pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias Stovia.
Tapi kisah soal Sie Kok Liong sendiri gelap. Eddie Kusuma dari Suara Kebangsaan Tionghoa Indonesia pernah mencari profil sosok itu, tapi nihil. Sejumlah warga Tionghoa di seputaran Kramat Sentiong dan Kwitang, pernah ditemuinya, tapi tak ada cerita yang jelas.
Hanya dari kisah-kisah, yang belum bisa diverifikasi, bahwa Sie Kok Liong kemudian memeluk agama Islam dan mengubah namanya menjadi Muhammad Cia pada 1960-an. Kisah dari mulut ke mulut juga bilang bahwa Sie Kok Liong wafat pada 1971. Tapi makamnya entah di mana.