Jakarta, CNN Indonesia -- “Miss, kenapa badan Miss gendut?” Saya teringat saya terkesima beberapa detik mendengar pertanyaan itu. Itu adalah pertanyaan pertama yang saya dapat di hari pertama saya bekerja sebagai guru kelas 1 di satu Sekolah Dasar. Setelah memperkenalkan diri, saya mempersilahkan para murid untuk bertanya apapun yang ingin mereka ketahui tentang saya.
Pikiran otomatis saya sebagai orang dewasa saat itu mengatakan betapa tidak sopannya anak itu. Aduh, apakah dia tidak tahu bahwa topik mengenai umur dan berat badan itu sangat sensitif untuk seorang perempuan? Hahaha. Tapi murid itu tidak bertanya dengan maksud apapun kecuali dengan maksud ingin tahu.
Ketika saya jawab saya gemuk karena saya senang makan, senyumnya melebar memperlihatkan giginya yang ompong, “Sama dong! Aku juga!”. Teman-temannya menimpali dengan kata yang serupa dan pertanyaan pun terus melebar menjadi hal-hal yang menjadi kegemaran masing-masing. Itu salah satu hal yang membuat saya senang mengajar anak-anak, setiap saat adalah p
ure discovery yang tulus tanpa agenda atau syarat apapun dan penuh ketakjuban.
Saya tidak pernah berniat menjadi guru. Dari kecil cita-cita saya hanya ingin menjadi desainer grafis. Saya senang menggambar dan saya menggambari apapun yang bisa saya gambari dan di waktu kapanpun saya bisa menggambar.
Rasanya tidak mungkin bagi saya menjadi seorang guru karena saya bukan orang yang sabar maupun pintar. Sewaktu wawancara dengan kepala sekolah di tempat saya pertama kali berkarya, beliau menanyakan apakah saya menyukai anak kecil dan saya jawab tidak. Terus terang saya memang paling segan dekat-dekat anak kecil, apalagi yang sedang nangis atau
pup. Saya ingat rautnya tampak terkejut, namun dengan tenang beliau melanjutkan pertanyaannya, “Lalu kenapa ingin menjadi guru?”
Saya tidak pernah punya jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu, namun untuk mempermudah jawaban saya hanya bisa mengatakan karena saya menyukai apa yang saya kerjakan. Sejalan bertambahnya waktu, sekarang saya bisa katakan saya mencintai apa yang saya kerjakan dan terutama saya mencintai murid-murid saya. Dan seringkali kita tidak punya alasan yang pasti mengapa kita begitu cinta pada sesuatu. Cinta datang begitu saja. Tiba-tiba dan mengalir tanpa rencana hingga tak terasa dua belas tahun sudah berlalu dan saya tahu, masih akan terus berjalan. Saya guru yang jauh dari sempurna, berlatar belakang bukan pendidikan guru atau psikologi. Saya hanya bermodal cinta saja *cieee*.
Ternyata benar juga kata orang, cinta membuat kita ingin selalu menjadi lebih baik setiap saat.
Sebelum menjadi guru, saya bekerja sebagai desainer konstruksi kain di sebuah manufaktur tekstil interior terkemuka. Belum setahun saya bekerja, saya sudah mendapatkan kenaikan gaji tiga kali. Sementara saat pertama menjadi guru, gaji pertama saya bahkan kurang dari gaji awal saya sebagai desainer. Hingga beberapa tahun bekerja, banyak teman yang menawari saya untuk pindah kembali menjadi desainer. Kata mereka, sayang sekali ijazah yang susah payah saya dapat jika tidak dipergunakan dengan baik.
Sering sekali saya mendengar orang-orang yang saya kenal menyayangkan pilihan hidup baik saya ataupun orang lain yang menjadi guru sekolah dasar biasa. Mungkin mereka belum menyadari bahwa pendidikan Indonesia membutuhkan orang-orang yang memang ingin berkarya mendidik karena memang itulah panggilan hatinya dan bukan sekedar karena hanya itulah pekerjaan yang tersedia.
Pendidikan Indonesia butuh tidak hanya orang-orang yang cerdas, tetapi juga orang-orang yang berpikiran terbuka dan mau maju untuk menjadi guru. Kita juga membutuhkan orang-orang yang mencintai dirinya sendiri, mencintai kehidupan, harapan dan pertumbuhan. Kita membutuhkan guru yang hangat, punya kepribadian kuat,
up dated dan kreatif untuk membuat proses belajar menjadi sesuatu yang menyenangkan atau bahkan membuat ketagihan. Indonesia butuh guru-guru yang percaya dengan kebaikan yang diajarkannya suatu saat yang entah kapan akan membuahkan kebaikan yang lebih besar, entah dia sendiri sempat menyaksikannya atau tidak.
Sewaktu kecil saya sering bertanya-tanya kenapa saya tidak dibesarkan saja di negara maju yang sekolahnya tampak bagus. Saat menonton film Hollywood, saya melihat murid-murid di negera lain tampak aktif bertanya, tidak perlu memakai seragam dan tidak perlu upacara bendera setiap Senin. Saya iri setiap menonton serial Head Of The Class atau film seperti Dead Poet Society di mana gurunya begitu menginspirasi. Saya benar-benar membayangkan rasanya punya guru yang menyenangkan seperti itu.
Tanpa mengurangi rasa hormat atas jasa para guru dan dosen yang pernah mendidik saya sejak SD hingga tamat kuliah, sejujurnya saya katakan saya hanya punya sedikit pengalaman belajar yang menyenangkan. Tentunya itu membuat saya hanya ingat sedikit dari apapun yang pernah saya pelajari. Saya justru lebih ingat perasaan-perasaan yang saya alami semasa sekolah.
Saya tidak ingat apa materi yang diajarkan guru saya saat saya kelas 3 SD, tapi saya ingat betapa saya kecewa gambar karya saya mendapat nilai 5 hanya karena bukan gambar dua gunung segitiga dan tidak menggunakan penggaris. Saya tidak ingat nilai PMP saya saat kelas 4 SD, tapi saya menyimpan dalam hati dongeng bersambung yang dituturkan guru PMP saya. Saya menyimpan dalam ingatan segala perhatiannya yang tulus ketika saya sakit selama sebulan. Saya tanpa sadar menyimpan setiap emosi-emosi kuat yang saya dapatkan selama berinteraksi dengan guru-guru saya, baik itu rasa sukacita, haru, terinspirasi, takut, marah atau bahkan terhina.
Saya tidak ingat isi pelajaran sejarah saat saya SMP, tapi saya ingat jelas bagaimana ekspresi guru sejerah saya saat membaca karya tulis perdana saya mengenai Bung Karno yang saya tuliskan dengan sepenuh hati. Semi informal dan dramatis atau bahkan
lebay gaya bahasanya. Masih terbayang jelas bagaimana guru saya memandangi saya dengan raut yang sulit saya deskripsikan. Matanya sedikit berkaca-kaca saat memberitahu saya, ini pertama kalinya ia memberi nilai tertinggi untuk karya tulis sejarah.
Beliau berkata saya berbakat menulis dan dia yakin kalau saya asah, saya akan bisa jadi penulis yang bagus. Guru saya tersebut bahkan mengucapkan terima kasih pada saya karena sudah menulis karya tersebut. Saya sungguh merasa bahagia dihargai sebagai seseorang oleh guru yang selama ini saya pandang tinggi.
Waktu itu saya tidak mengerti kenapa almarhum bersikap seperti itu meskipun saya senang dan berbunga-bunga. Namun setelah mengajar, sekarang saya mengerti bahwa kebahagiaan terbesar itu bukanlah saat saya bisa membagi ilmu saya, tapi ketika saya bisa membantu murid saya menemukan dan mengasah berlian alias kebaikan-kebaikan dan potensi dalam dirinya.
Ingatan itu membentuk saya bahwa menjadi guru itu bukan sekedar mengajarkan materi tapi lebih pada menyentuh atau memberdayakan hidup seseorang secara spontan. Saya tidak pernah tahu kapan atau bagaimana tepatnya saya melakukannya, jadi yang bisa dilakukan ya hanya mengalir. Sebisa mungkin saya memperlakukan murid saya sebagaimana saya selalu ingin diperlakukan oleh guru saya dulu. Setiap hari saya mengingatkan diri sendiri apa niat awal saya menjadi guru. Apa yang ingin saya ciptakan dengan menjadi guru? Sikap apa yang diperlukan dari saya untuk mewujudkan niat itu?
Buat banyak murid saya, saya dikenal
strict yet lovey dovey. Sebagai buaya, saya tidak mudah dikadali. Hahaha. Misalnya ada murid yang mencontek atau memalsukan tanda tangan orangtuanya, saya bisa langsung mengenalinya. Kenapa? Karena saya dulu juga pernah melakukannya semasa sekolah. Amit-amit memang tapi ternyata ada banyak gunanya juga menjadi seseorang yang tidak lurus-lurus amat saat menjadi guru. Jika saya marah, saya akan pastikan murid saya mengetahui bahwa saya bukan marah padanya tapi pada sikap atau tindakannya.
Suatu hari, ada kepala seorang remaja laki-laki nongol dari balik pintu di tahun keempat saya mengajar sebagai guru seni rupa. Saya segera mengenalinya. Ia murid kelas 5 di tahun pertama saya bekerja di tempat itu. Hanya setahun kami bersama sebelum dia pindah ke Singapura. Ia berkata terkejut saya mengingat namanya dan saya terkejut dia mendatangi kelas saya. Katanya, dia dan adik perempuannya baru saja tiba dari Singapura sehari sebelumnya dan datang ke sekolah karena mencari saya. Bahkan ia tidak mencari guru kelasnya. Dengan terpatah-patah, ia berkata ia datang untuk mengucapkan terima kasih karena saya pernah “marah” padanya.
Aduh, saya jadi berdebar merasa bersalah dan berusaha mengingat-ingat apa yang pernah saya lakukan. Anak itu mengingatkan saya bahwa suatu ketika saya pernah menegurnya saat ia berkejaran dengan temannya di kelas. Saya terkesima bagaimana ia bisa mengingat setiap kata yang saya ucapkan padanya dan mengatakan di bagian apa tepatnya kata-kata saya membuat dia berpikir mengenai dirinya sendiri dan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya. Sejak saat itu kami berteman.
Kenangan hari itu dan juga kenangan tentang guru sejarah saya saat SMP menyadarkan saya bahwa hal sekecil apapun bisa mengubah banyak hal. Saya juga belajar bahwa semua orang adalah guru sekaligus murid bagi satu sama lainnya.
Hari itu saya belajar dari anak itu untuk selalu memperlakukan orang lain sebagai manusia, tanpa kecuali. Murid tidaklah lebih rendah daripada guru dan guru bukanlah yang maha tahu dan harus selalu dituruti. Salah satu guru terbesar saya ternyata adalah murid-murid saya sendiri. Saya rasa guru jaman sekarang sudah tidak jaman lagi bersikap jaim alias jaga image. Meminjam lirik lagu band Seurieus, guru juga manusia. Punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belatiii. ☺
Ada begitu banyak hal yang membuat saya begitu menikmati menjadi guru. Salah satunya adalah libur yang cukup banyak (Yes! Tahun ini saya hanya perlu ‘ngantor’ 220 hari saja!), punya banyak “me time” untuk mengembangkan diri atau melakukan hobi dan bisa belajar tapi digaji. Asik banget kan? Yuk, jadi guru!
Seorang guru adalah refleksi keabadian karena ia tak pernah tahu kapan pengaruhnya berhenti (Henry Adams) (ded/ded)