DKI, CNN Indonesia -- Bulan Desember adalah bulan yang sentimentil buat saya. Banyak hal yang membuat bulan ini terasa lebih sesak dari bulan lainnya. Jumlah hari kerja yang lebih pendek karena terambil banyaknya jadwal libur, banyaknya laporan akhir tahun yang harus diselesaikan, banyaknya resolusi yang belum terpernuhi, dan adanya seremonial Hari Ibu di akhir bulan ini.
Seremonial, saya lebih suka menyebutkan demikian. Karena toh sebenarnya Hari Ibu memang tak lebih dari momentum dan melankolia hubungan ibu-anak. Hubungan dengan
up and
down-nya, hubungan dengan drama dan hubungan cinta dengan bumbu bumbu marah yang membuatnya makin mesra. Bukankah demikian hubungan ibu dan anak normalnya?
Sekian tahun bersama-sama , dengan aturan dan pelanggaran, dengan pemberontakan kecil-kecilan dan dengan kepatuhan yang sepertinya sudah jadi hukum alam, akan susah untuk mensucikan hubungan tersebut hanya dalam bentuk pemujaan yang mutlak, karena di situ ada rasa marah dan kecewa, bercampur aduk dengan rasa sayang dan kangen yang seringkali bertumpuk-tumpuk.
Begitupun hubungan saya dan Ibuk, perempuan cantik yang melahirkan saya. Sebagai perempuan, Ibuk menurut saya adalah gambaran yang sangat sempurna. Dari kecil hingga saya SD, Ibuk selalu menjahit baju seragam saya sendiri, dengan model yang dimodifikasi asalkan bawahan merah dan atasan putih.
Tak heran banyak teman-teman saya dulu suka iri dengan rok seragam dengan wiru dan mekrok-mekrok (lipatan dan mengembang), semacam rok-rok
princess masa kini. Ibu juga yang suka mendandani saya ketika karnaval SD, mau pakai baju daerah Jawa, Bali, ibu selalu bisa mendandani sendiri. Sebenarnya alasannya karena selain Ibuk memang punya ketrampilan tata rias dari kursus, juga untuk menghemat pengeluaran ke salon.
Ibuk jugalah yang selalu membuat bekal tumpengan saya ketika Isra Mi’raj dinanti-nanti guru dan teman lainnya. Masakan Ibuk juara! Masakan yang hingga bertahun-tahun kemudian membuat saya selalu rindu kata pulang.
Bisa dandan, bisa menjahit, bisa memasak. Dan Ibuk saya cantik. Kurang sempurna apa coba? Tak heran Bapak jatuh cinta meski kala itu Ibuk tak lagi muda.
Tapi seperti hubungan cinta dan sebal (bukan benci, karena saya tak pernah membenci Ibuk), selalu ada hal yang tak sempurna di mata saya. Hal yang tak sempurna ini sangatlah tidak adil, saya kira. Saya baru memahaminya ketika saya menjadi Ibu. Satu hal yang tak berlaku dalam karma.
Ketika Ibu memandang anaknya sebagai suatu bentuk sempurna (padahal dia pesek, kriting, bandel, dan menyebalkan sekali — seperti saya), anak akan cenderung melihat kesalah-kesalahan kecil ibunya. Entah cerewet, suka marah, bawel dan duh nyebelin deh!
Itu pulalah yang terjadi antara saya dan Ibuk. Ibuk saya pemboros! Hahahaha. Jadi dia menghemat ongkos saya nyalon pas karnaval, karena dia ingin membeli piring, gelas cantik atau cetakan kue. Atau sekadar jajan.
Sebenarnya wajar bukan perempuan menggemari belanja? Tapi kala itu, Ibuk jadi menyebalkan, hobinya menumpuk perabot dapur. Ketika saya mulai bekerja dan mulai mengalokasikan sebagian gaji untuk Ibuk pun, kayaknya engga pernah cukup. “Aku mau tuku iki nduk… aku pengen nduwe iki."
Hih.
Sebel. Kenapa enggak uangnya ditabung aja gitu, toh hanya tinggal Bapak dan Ibu saja di rumah, mustinya bisa menabung. Tapi ya sudah, kadang demi untuk menyenangkan Ibuk, saya hanya bisa iya-iya saja.
Hingga Ibuk makin sepuh dan mulai sering sakit akibat gula darah yang dideritanya 2001 lalu, satu hal yang enggak pernah berubah dari Ibuk. Hobinya belanja. Membeli cetakan kue ini itu, alat makan ini itu. Padahal Ibuk sudah sangat jarang beraktivitas di dapur karena enggak boleh kecapekan.
Saya sih karena makin dewasa (uhuks!) dan sudah menjadi Ibuk, makin bisa memaklumi hobi Ibuk. Ya sudahlah ya, yang penting Ibuk bahagia.
Maret lalu, Ibuk meninggal, setelah gula darah menggerogoti organ-organ tubuhnya. Saya hampir 2 minggu di rumah, membereskan barang-barang Ibu, mana yang akan disimpan, atau mana yang akan dihibahkan. Dannnn….
Hm. Itu ada 1 lemari penuh berisi baju, jilbab dengan segala model gaya dan tas-tas lucu. Sambil melipat dan membersihkannya, saya terheran-heran, dari mana Ibu tahu saja mode terbaru, karena beberapa waktu terakhir Ibuk lebih sering di rumah karena sakit. Dari mana Ibuk mendapatkan info mengenai merek-merek kosmetik, yang saya sendiri enggak tahu dan enggak punya. Hahaha.
Belum lagi itu perabot dapur, tumpukan piring cantik, hingga piring yang konon katanya bisa dibakar dan dioven tanpa pecah. Dari wajan anti lengket segala ukuran, hingga wajan happy call untuk memanggang. Dari cetakan kue lumpur, bikang, waffle dan entah apalagi. Saya merasa lebih mengenal Ibuk, justru dari barang-barang yang beliau tinggalkan.
Barang-barang itu saya kemasi, saya bungkus dan rencananya saya bagikan ke beberapa saudara. Dan sambil menemani saya melakukannya, Mbak Sri —tetangga yang sesekali datang untuk membantu Ibu di rumah— berkata: “Mbak Tika..Ibuk sebenarnya masih memesan cetakan pukis, katanya untuk Mbak Tika, karena Mbak Tika suka pukis kan?”
Saya tercekat. Tiba-tiba. Dan saya masih tercekat ketika menuliskannya sekarang.
(ded/ded)