Jakarta, CNN Indonesia -- Seakan Bunda Pertiwi duduk di sampingku berkisah tentang masa lampau. Ketika pepohonan masih memberi oksigen keindahan.
Saat ikan-ikan berenang bebas berlarian kian-kemari di antara nyanyian pepohonan berderetan dalam barisan komposisi naturalis kaldera akibat ledakan supervulkano Gunung Toba, menjadi danau purba Toba. Bagai bejana berhubungan pemberi kelangsungan kehidupan tradisi-tradisi di pulau magma, kini dikenal dengan nama Samosir, di tengahnya.
Gondang, mengalunkan tentang cinta dalam doa-doa pada harapan kebaikan, kesuburan, terlihat pada simbolis perkawinan adat para raja marga-marga. Pada kisah
manortor bagi sanak famili dikandung badan, mengantar kisah kehidupan dan kematian. Pada serat kain ketegasan hitamku adalah putihku adalah merahku adalah makna univesal. Tak ada abu-abu di antaranya atau pink sekalipun. Tak boleh terjadi dalam ranah apapun dengan alasan modernisme demi pejabat penting sekalipun.
Sebab adat adalah kepatuhan pada keputusan kepastian kebijaksanaan para raja marga-marga. Dalam struktur fitrah keagungan tradisi. Sebab tradisi adalah Ibu dari Modernisme, minimalis dalam simbolik kepastian arti tujuan dari pewarnaan, tersirat makna, hakikat pengkabaran tujuan. Sebab Patrilineal telah melahirkan aturan ketat dalam hikmah permusyawaratan adat, telah ditetapkan dalam maklumat sumpah setia tradisi nenek moyang para raja marga-marga.
Seperti kesetian Raja Tua, Sisingamangaraja, demi mati ia hidup, demi hidup ia rela mati, untuk Bunda Pertiwi. Di tengah deraan pemerintah kolonial Belanda, ia nenek moyang tradisi, hidupnya dari meminum air Danau Toba, dalam kancah perbekalan peperangan.
Bagaimana jika Raja Tua, Sisingamangaraja, mendengar bahwa Toba danau purba Bunda Pertiwi, tak memenuhi syarat untuk menjadi rangkaian UNESCO Global Geopark Networks (19/9/15)? Akibat sebab sederhana, diduga Danau Toba masih mengandung limbah industri negatif, hingga terjadi degradasi lingkungan.
Seakan Bunda Pertiwi masih duduk di sampingku, bersama memandang Supermoon di atas Danau Toba, yang berlapis labirin kabut mistis estetis dalam eksak kebudayaan. Kejadian perubahan iklim dunia lama menuju dunia baru. Di tengah kekhawatiran kehilangan kepurbaan Toba, telah melahirkan anak-anak rantau, mengadu nasib nun jauh di sana, hanya ingin kelak kembali membawa hakikat dari hasil tujuan cita-cita.
Ada Sitor Situmorang, sastrawan dan budayawan, di antaranya, telah berpulang keharibaan tanah adat. Mereka tetap tegas di kesetiaan syair-syair rumpun bunga di atas batu di punggung Samosir. Sajak Sitor terus bergema, mengumandang, mengabarkan keindahan tradisi para raja marga-marga, hingga ke benua-benua. Sesungguhnya Sitor tak pernah pergi, selalu pulang pada tradisi, hadir senantiasa dalam karunia Toba Na Sae.
Anak-anak rantau di mana pun berada kini, di sini Bunda Pertiwi Toba Purbamu senantiasa menunggu dengan setia kepulangan anak cucunya.
Toba tak ingin memiliki degradasi lingkungan menjadi hantu siang atau hantu malam, tak ingin siapapun merenggut kekayaan dalam kandungan ekologi di keajaiban kepurbaan, untuk anak cucunya. Toba danau purba Bunda Pertiwi, tak ingin airnya menjadi racun bagi ikan sekalipun.
(ded/ded)