Jakarta, CNN Indonesia -- “Hahaha… Kau tak lihat, ilalang di tepi danau purba sudah tak ada, menjadi rumah penginapan. Aku tidak menangis. Cuma sedih saja. Bagaimana bisa boleh membangun permanen rapat dengan tepi danau purbaku, awalnya dia Gunung, ledakannya mengubah arah kutub dunia konon… Sudahlah buang saja surat ini… lelah aku… lebih baik aku makan batu, tak tega melihat danauku kehilangan paras cantiknya...”
Entah sudah berapa lama aku simpan potongan surat ini. Entahlah. Di mana si Anak Huma itu, hilang ditelan zaman.
Kabar simpang siur, semua 'katanya', tak ada kepastian benar. Berita tentangmu ‘entah di mana’ terus mengguyur kepalaku, seperti hujan asam polusi. Dibawa angin dari kota ke mari. Pernah aku dengar kau akan datang. Aku segera lari ke rumah pohon melompat-lompat kegirangan, menunggumu sampai lupa gosok gigi, hanya desir angin terus menerpa.
Aku pernah bilang kan, kalau kau tak berkabar, tak jelas menghilang seperti kau lakukan sebenarnya sekarang. Aku memilih menjadi kodok tua atau nenek sihir lantas mati. Top kan? Nah, rupanya kau coba-coba. Kau kira aku main-main ya? Lihat, berapa usia kita sekarang. Umurku terpaut tiga tahun darimu, aku cuma anak kecil, tak mau kau peluk, aku ingin kau hadir di sini segenap adanya.
Lintasan meteor melesat begitu cepat bergedebam menjadi nuklir di Bumi, berpuluh juta tahun lalu. Pemusnahan alamiah itu terjadi seiring waktu tempuh perjalanan planet, sebelum zaman kalkulasi matematis pada digit teknologi kuantum seperti terkini. Planet bisa dihitung, dipotret, disebarkan di frekuensi komunikasi bio-teknologi, dalam partikel kecepatan hiper luar biasa, tak sebanding suara atau cahaya.
Puluhan juta tahun, setelah ledakan Gunung Purba di tanah lahirku, berkelanjutan ledakan Gunung Purba, di tanah lahirmu. Lalu wajah Bumi berhias kembali, kini, tersisa terlihat kasat mata. Setelah serumpun bangsa besar musnah terpecah akibat
big bang itu, tertanam kebudayaan modern pada masanya, di bawah kebudayaan kini. Tak mau jua, aku yakinkan dirimu, bahwa di bawah tanah leluhur ini tersimpan sejarah purba.
Baik, kalau kau memilih makan batu. Aku tetap memilih makan nasi dari padi subak moyangku, turun temurun. Aku sehat meski tampak bertambah usia. Tak ada ketakutan lagi. Kita sudah memastikan pilihan. Aku masih berharap kau muncul tiba-tiba seperti robot dadu mainan lego… Hi hi hi… terbayang bentukmu seperti itu… Hi hi hi… Hening di pikiranku kembali menyergap.
Deretan Bus Kota di terminal pendamping simpang siur keluar-masuk. Target hari ini lima puluh ribu untuk kantongku, berbagi dengan perut, sedikit kegembiraan untuk permen karet di mulutku, meski rasa tak tentu arah. Pikiran seperti menarik-narik kalbu. Seaneh kamu! Aku tak mau merasakan apapun lagi. Walau kalbu terus mencoba gembira, pikiran terus mencoba memberontak… Brak! Selintas aku dengar alat musikku digilas Bus.
Biolaku! Oh! Terlempar ke aspal di mulut keluar Terminal. Lalaiku di antara desakan penumpang. Sekilat-kilatnya, aku melompat keluar Bus, tak terlihat lagi biolaku di antara sesakan bus-bus raksasa dalam kota.
Perjalanan menjadi terang-benderang, semua terasa menyenangkan. Bertemu dengan banyak handai taulan, selintas aku melihat beberapa sahabat dari desaku dulu...
Aku di antara orang-orang ramah. Kami saling bersalaman, saling memberi senyum kesejukan, ruang terasa luas, langit gemerlap bak intan permata, dekat sekali denganku, tak ada batas lagi. Rasa nyaman, belum pernah terasakan sebelumnya di mana pun, mengalir serentak menuju satu arah, entah berjalan atau berlari di antara orang-orang ramah ini, sungguh aku tak tahu lagi melukiskannya.
Aku bisa melihatmu menuju Rumah Pohon, dari sini… Ha ha ha… kalau kau tahu aku bisa melihatmu, kau mengira aku sengaja mengintipmu… Ha ha ha… Persis ketika kau mandi air terjun di Desa Tanah Adat… Ha ha ha… Aku tak senakal kau kira… Jelas-jelas aku ketakutan, kau tetap nekad ingin mandi, aku takut. Aku lari dan terus sembunyi di semak belukar jauh di balik bukit air tejun itu.
“Lelaki Huma, di mana kamu…” Teriakanmu memecah, seakan menggelegar-gelegar. Hatiku mengecil meski tak sekeras kelereng. Aku tetap diam, ketakutan. “Kalau kau tak nongol aku akan berteriak-teriak kesetanan…” Alamak kenapa aku punya kenalan sekepo itu… Ampun. Tolonglah siapapun mendengar jeritan dari dalam hatiku. Tolong! “Berani. Tak juga muncul. Satu… Dua…” Ancaman suaramu.
“Iyaaa… Ampun…” Aku berteriak sekuatnya… Terasa ingin pipis di tempat. “Jangan cuma bersuara, munculkan dirimu Lelaki Humaaa!” Aku mengumpat diriku sendiri… Sial betul, kenapa aku mengenalnya, perempuan Anak Rembulan Tua… Gila aku… Tidak… Dia gila amat sih, bukan aku… Serentak aku lompatkan tubuhku menembus semak… nafas tersengal-sengal “Bruk!” Aku melompat muncul, langsung membalikkan badanku darinya sekilat-kilatnya.
Ha ha hi hi hi… itu suara ngakakmu. “Aku masih berpakaian. Hanya sebatas lutut aku mandi… Hi hi hi Ha ha ha… kau sudah lari lintang-pukang… Lelaki Huma penakut…” Geram aku dibuatnya. Kalau dia lelaki sudah… Hih! Huh! Hah! Tinjuku nempel di jidad lebarnya. Baiklah, lagi dan selalu aku mengalah. “Berpalinglah ke arahku…Aku masih berpakaian…” Mendadak kau melompat kepunggungku.
“Hayo! Gendong aku turun bukit…” Suaramu berteriak di kupingku. Tubuhku terasa ringan, meski aku sebel denganmu, aku girang bisa bolak-balik dengan cepat, tanpa terasa apapun, tak ada beban tak ada lelah, sesak nafas atau batuk-batuk, tak perlu tenaga, tubuhku ringan dan canggih bergerak cepat sambil menggendongmu di punggungku, dari peristiwa ke peristiwa, bolak-balik dari ruang terang benderang, masuk lagi kekisah-kisah di dalam hidupku, seperti bioskop layar lebar membentangkan kalaidoskop.
(ded/ded)