Jakarta, CNN Indonesia -- Malam siang pagi dan sore terus berlalu. Waktu berjalan seiring perubahan pada garis edar bintang-bintang mengitari bumi. Cuaca seperti biasanya memberi suara pada kokok ayam pertanda fajar menyingsing.
Rumah-rumah ibadah membuka jendela dan pintu-pintu menyambut hari senantiasa indah.
Teman-temannya memanggilnya dengan Gra saja. Ia menggeliatkan tubuhnya bangun kesiangan, sekitarnya sepi tak ada suara apapun. Para lebah telah berangkat memburu madu untuk keluarganya di rumah. Semua temannya telah berangkat ke sekolah.
Gra masih menggeliatkan tubuhnya. Para kepik, kupu-kupu, telah sibuk menuju pelajaran tentang bunga di sekolah. Gra, lagi, menggeliatkan tubuhnya seperti kucing seakan tak puas-puasnya ia melakukan hal itu. "“zss zss…” Sebuah suara mendesiskan bunyi seperti angin dengan notasi monoton.
Secepat kilat Gra melompat ke dahan menuju ujung daun tertinggi di puncak pohon itu. “Aku harus waspada, itu pasti suara si Hijau” Gra terus melompat sejauh mungkin. Semampunya, nafasnya balapan saling memacu tenaga dengan lompatannya, ia tidak gemetar, tidak juga takut, ia hanya perlu menghindar.
Sebuah bayangan hitam seperti menutupi dirinya. Gra, terperangah nafasnya seperti berhenti, keringatnya seperti kelereng mondar-mandir di badannya. Bayangan besar itu terasa semakin dekat tapi semakin mengecil menuju arahnya, seperti menukik. Mendarat di hadapannya, tubuh besar itu.
“Kak!” Suara desis, sejak tadi mengejarnya mendadak sirna mendengar suara Sang Garuda. Hanya desir angin siang sepoi-sepoi menggoyang seluruh dahan muda dan para daun di puncaknya. “Gra!” Suara itu seperti gelegar kilat memanggil. Berdiri tegap di atas dahan tertinggi di antara para daun. Di hadapan Gra.
“Ini pertolongan terakhirku padamu, sebelum si Ular Hijau melahapmu” Suaranya seperti menghardik Gra, namun ada semacam kebijaksanaan dalam alunan resonansi suaranya.
Suara itu keluar dari sosok gagah Burung Garuda. “Camkan kata-kataku. Berhenti jadi pemalas sekarang!” Sambil terbang meninggi ke angkasa.
Gra, termangu. Wajahnya masih menatap kepergian Sang Garuda bijaksana, benar-benar malaikat langit, selalu datang menolong siapa saja dalam situasi apapun tanpa membedakan siapapun. “Terima kasih Yang Mulia” Suara Gra, lirih pada Sang Garuda telah sirna mengangkasa.
Gra, kembali tertidur di antara para daun.
Terdengar isak tangis liris bagai irama simfoni puisi-puisi menggema mengangkasa. Gra seperti melayang dalam tidurnya, ia seperti menjadi malaikat putih memimpin kebijaksanaan, ia mencari suara tangis itu keseluruh angkasa, terbang dari planet ke planet, ke bintang-bintang.
Suara itu seperti terus terbang berpindah-pindah. Gra tak putus asa, kini ia telah menjadi malaikat putih. Ia terus terbang mencari sumber suara tangis itu hingga ke balik matahari, rembulan, kembali menuju bumi.
Gema tangis itu semakin indah, seakan tengah mengeja angka-angka, mengajarkan ia huruf-huruf, perkalian, penambahan angka, di bagi lalu di kurangi.
Membacakan kisah-kisah kepahlawanan, cerita matematika, cerita perkalian kuadrat pangkat dua, menjadi bilangan genap, menuju bilangan angka-angka. Mengisahkan ruang-ruang bejana berhubungan.
Kisah-kisah berbudi bahasa dalam cerita susastra para Pujangga. Gra terus mencari sumber suara tangis semakin indah nian tak terperi. Seperti sebuah pelajaran pernah ia membacanya. “Wahai! Kamu siapakah? Di manakah? Aku seperti mengenalmu?”
Gra terbangun dari tidur siangnya.
Lalu ia berteriak ke angkasa dengan lantang penuh semangat. “Bapak Garuda! Aku tak akan malas lagi! Terima kasih! I Love You…”
Sang Garuda muncul di angkasa bagai gaib semesta. Memberinya buku-buku. “Ini bukumu yang menangis, karena kau tak pernah membacanya Grasshopper. Bacalah!” Sang Garuda sirna bersama suara kebijaksanaannya.
(ded/ded)