Esai Bersemi di Musim Kemarau

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Sabtu, 08 Okt 2016 07:36 WIB
Bisakah membuat podium tanpa melukai Lambang Negara, Bendera dan Lagu Kebangsaan milik kami?
Ilustrasi (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bunga rampai sebuah cernaan bisa disebut perumpamaan. Sebuah peristiwa bisa menjadi perumpamaan atawa semacam isu ditiup angin, bisa juga menjadi over exposure realitas sejarah lampau promo aksi di perbuatan kini, di akan datang agar dicatat menjadi neo-historis.

Jika isu ditiup angin membawa pencatatan sejarah bermuatan opini-asumsi eksentrik, maka kesimpulan akhirnya barangkali bertujuan membentuk neo-paradigma. Mungkin. Jika itu terjadi maka sejarah tak lagi mengandung eksistensi kebenaran natural awalnya.

Justru akan menyesatkan idiom keniscayaan kerekayasaan memvalidkan seakan menjadi penting untuk mengemuka demi tujuan suatu sistem strategis tertentu.

Jika itu terjadi, hampir bisa diperkirakan barangkali loh, pemunculan kembali sebuah catatan sejarah tak senyata tujuan wajah aslinya. Mengapa? Tentu ada semacam adonan tersembunyi dari sebuah tujuan oleh, sebut saja dengan nama perumpamaan pula, the invisible of Magician.

Ada banyak gangguan di perjalanan sejarah kemerdekaan Sang Garuda, Sang Dwi Warna dan Indonesia Raya. Bisakah membuat podium tanpa melukai Lambang Negara, Bendera dan Lagu Kebangsaan milik kami?

Tak ada satupun, pihak manapun atau siapapun diuntungkan atau merasa paling benar dalam suatu peristiwa perjalanan sejarah sebuah negeri di ranah pengkhianatan-makar. Sebuah luka adalah luka secara filosofis maupun logis.

Luka bagi negara. Luka bagi rakyatnya. Akibat perbuatan isme-kultus simbol-simbol, melakukan tindakan kesadaran makar, percobaan revolusi pengkhianatan terhadap negeri di manapun, pasti korbannya rakyat, negara, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, moral hukum, sistem geopolitik, generasi dan pendidikan.

Perbuatan merugikan pendidikan anak bangsa, akibat pola “pengkhianatan kepada negara-makar” merupakan perbuatan tak terpuji di sejarah humanis setara geobudaya seluas NKRI.

Sejak era V.O.C., chaos antar kekuasaan Raja-raja, penjajahan pemerintah Hindia Belanda, Dai Nippon dan korban Jugun Ianfu. Pemberontakan PKI Muso dan D.N. Aidit (G 30 S PKI) hingga gejolak politik antar kepentingan abstrak. Kemenangan gempuran demokrasi atas Nasakom dan Orde Baru hingga gangguan post-separatism klasik dan modern.

NKRI, bagai singa luka tercabik-cabik tetap berdiri tegap di kancah Kurusetra menjaga rakyatnya demi kemenangan demokrasi menggempur kaum makar, meski berakibat terus-menerus harus menyembuhkan luka-luka rakyat, negara, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, moral hukum, sistem geopolitik, generasi dan pendidikan.

Kemuliaan NKRI memulihkan generasi dalam pelukan pendidikan mengayomi, mencerdaskan kembali mengantar generasi dan para student menuju cita-cita kebangsaan seperti kehendak Pancasila, senantiasa dilakukan setelah peristiwa tak terpuji perbuatan pengkhianatan-makar.

NKRI harus kembali lagi dari nol membangun negerinya di segala lini sektor. Setelah perbuatan pengkhianatan-makar mencoba mengguncang, merongrong, merugikan bangsa ini, sekalipun gangguan dari sekadar kelompok partisan sparatis amatiran.

Perbuatan makar, bukan contoh baik bagi setara generasi dan para student di wilayah NKRI-Unit. Makar, merupakan perilaku tak termaafkan oleh peradaban manapun, sebab membuat semua pihak terluka, akibat satu kepentingan golongan partisan kultus dogmatis berafiliasi negatif, bertujuan membentuk koloni baru negara di dalam negara.

Peristiwa 1965, sebuah bingkai dalam gelap. Pilihan penganutnya atas kehendak kesadarannya sendiri. Bertujuan menggulingkan pemerintahan formal, di dalamnya ada rakyat NKRI-Unit, ada luka-luka anak bangsa, akibat suatu perbuatan makar itu.

Hari Kesaktian Pancasila, senantiasa menjadi dasar amat penting sebagai pelajaran sejarah modern NKRI-Unit. Semoga peristiwa pengkhianatan-makar D.N. Aidit (G 30 S PKI) tak pernah terulang lagi di manapun di luasnya NKRI sekalipun, demi Pancasila pengendali demokrasi.

Amat penting mempertahankan, memperkuat tradisi dan adat-istiadat, di dalamya ada kekuatan persatuan adat-rakyat natural, mumpuni plus totalitas kesatuan, tak bisa ditembus oleh ranah negatif apapun sekalipun dengan tekno canggih. Mengapa?

Karena tradisi memiliki nurani humanisme total, kesatuan dan persatuan total dalam ikatan perkelompok trahnya, berdasarkan keyakinan turun-temurun, dari ke-unit-an itulah terbentuknya Nusantara pada awalnya, kini menjadi Negara Kesatuaan Republik Indonesia-NKRI.

Sebuah negara tanpa tradisi, seni-budaya dan mencoba meninggalkannya, akan rapuh dalam waktu singkat ditelan perilaku zaman. Karena itu jangan coba-coba melupakan tradisi dan tidak boleh sombong terhadap sesama.

Teknologi tidak mampu membangun tradisi atas dasar fitrah awal kekuatan Ilahi. Tradisi mampu membangun dan mengontrol kekuatan tekno super-canggih.

NKRI memiliki Gunung Krakatau sebagai nuklir gigantic alamiah, dilahirkan oleh perilaku logis-Ilahiah di ranah “Ilmu Kebudayaan” Ibu dari semua ilmu pengetahuan. Salam Indonesia Unit. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER