Jakarta, CNN Indonesia -- Gemuruh teriakan, “Trump, Trump, Trump dan USA, USA, USA” terdengar riuh di markas pemenangan Presiden terpilih Donald Trump di Manhattan, New York Rabu sore (9/11) waktu Amerika, beberapa menit setelah suara elektoral menunjukkan Trump memperoleh 276 suara dari 270 suara yang dibutuhkan.
Masih di kota yang sama dengan lokasi yang berbeda, lebih dari puluhan pendukung dan loyalis Partai Republik memadati dan merayakan kemenangan Trump d idepan Hotel Hilton, di mana tempat para petinggi Partai Republik menginap.
Padahal dalam beberapa survei terakhir sebelum Pemilu digelar, Trump beberapa kali berada di bawah bayang-bayang lawan kuatnya, Hillary Clinton. Bahkan hasil survei semakin memburuk, setelah 10 perempuan mengklaim terang-terangan telah dilecehkan oleh Trump.
Gaya berbicara Trump yang seenaknya ketika masa kampanye, membuat beberapa kalangan enggan memberikan dukungan terhadapnya. Bahkan tak sedikit pihak yang mengkritiknya habis-habisan karena gaya bicara blak-blakan dan pesan-pesan yang diucapkannya penuh kontroversi.
Senjata Politik
Senjata kampanye politik terpenting yang dimiliki Trump adalah gagasannya untuk melarang imigran Muslim masuk ke Amerika guna menekan angka kriminalitas dan menjaga keamanan domestik Amerika. Gagasan tersebut juga tak luput dari reaksi serta kritik pedas dari sebagian warga Amerika dan juga tokoh-tokoh dunia.
Selain itu, rencana Trump untuk membangunan tembok pemisah di sepanjang 2.000 mil perbatasan antara Amerika dan Meksiko pun menjadi gagasan yang renyah bagi warga Amerika. Pasalnya, ratusan imigran gelap hilir mudik diantara kedua negara, baik untuk kepentingan pekerjaan, human trafficking, jual beli senjata ilegal, hingga arus perdagangan narkoba.
Gagasan tersebut merupakan trik politiknya untuk memanipulasi emosi rakyat AS dengan menakut-nakuti mereka dengan adanya ancaman keamanan yang menyelimuti Amerika.
Trik politik semacam ini, sebelumnya pernah dilakukan George W. Bush ketika melakukan kampanye calon Presiden Amerika pada tahun 2004. Di mana Bush Junior memanfaatkan ketakutan warga Amerika pasca tragedi WTC New York, 11 September 2011, dengan gagasannya untuk memerangi terorisme dan menduduki Irak guna memerangi Al Qaeda.
“Bahwa kemajuan Amerika dalam bidang lain bergantung pada keselamatan warga negara Amerika," tutur Bush seperti dilaporkan televisi ABC pada tahun 2004. Hal itulah yang membuat Bush melenggang mulus menjadi orang nomor satu di negara adi daya itu untuk kedua kalinya. Semua berawal dari kampanye yang penuh kontroversi.
Memanfaatkan ketakutan yang sedang dimiliki oleh sebagian besar warga Amerika, menjadi alasan kuat di balik terpilihnya Bush dan Trump sebagai Presiden Amerika. Kelihaian keduanya dalam memanfaatkan isu keamanan memang memiliki nilai lebih. Di mana hal itu berdampak positif pada citra mereka yang semakin melambung di mata pemilih.
Dengan menggunakan kalimat-kalimat kontroversi ketika masa kampanye, Trump justru berhasil menyaring aspirasi pemilih yang sedang dilanda kekhawatiran akan ancaman yang marak terjadi saat ini dan di masa depan, baik ancaman terorisme, narkoba hingga sekelompok geng yang sering melakukan tindakan kriminal di dalam negeri.
Kontroversi yang Bush dan Trump kemukakan merupakan strategi politik jitu. Maka tak heran, banyak politisi Amerika, khususnya kader Partai Republik yang menggunakan strategi “kontroversi” sebagai senjata kampanye untuk menarik perhatian pemilih.
Namun patut digarisbawahi, bahwa penerapan gagasan Trump tidak akan sama persis ketika masa kampanye. Pasalnya, masih adanya pengawasan dari DPR terhadap program pemerintah dalam rangka pelaksanaan .
(ded/ded)