Banjir Bukan Takdir

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 21 Nov 2016 14:20 WIB
Curah hujan berintensitas tinggi hingga ekstrem masih mewarnai sejumlah daerah. Beberapa daerah pun dilanda banjir. Siapa yang patut dipersalahkan?
Banjir di Gorontalo. (CNN Indonesia/ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)
Jakarta, CNN Indonesia -- Curah hujan berintensitas tinggi hingga ekstrem masih mewarnai sejumlah daerah hingga bulan November 2016. Beberapa daerah pun mulai terkena dampak hujan tersebut, seperti banjir yang melanda Garut pada 21 September, Pasteur pada 24 Oktober, dan di Gorontalo pada 26 Oktober (Kompas, 29/10).

Yang terbaru adalah banjir yang melanda kawasan Gedebage, Bandung pada Jumat (27/10). Menurut Walikota Bandung, Ridwan Kamil, banjir setinggi 50-100 cm tersebut disebabkan curah hujan yang tinggi. Banjir tersebut membuat warga resah. Apalagi Jalan Soekarno-Hatta sebagai penghubung wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Banyak kendaraan tiap harinya masuk keluar lewat jalur tersebut.

Sebenarnya kawasan tersebut telah dipasangi tol air, namun tidak berfungsi dengan baik. Memang hal ini bukan sepenuhnya salah pemerintah yang tidak becus menangani hanjir. Curah hujan yang sulit diprediksi membuat banyak orang sulit beradaptasi dengan alam (cuaca). Dalam hal ini, pemerintah tidak sepenuhnya salah karena dinilai membuat bencana.

Kesalahan Manusia

Kita sebagai masyarakat sebenarnya jangan hanya bisa menyalahkan pemerintah. Mereka sudah melakukan pekerjaannya dengan baik dalam menangani banjir dan bencana alam lainnya. Nah, program pemerintah dalam menangani potensi bencana seharusnya masyarakat dukung dan bantu.

Relevankah masyarakat menyalahkan pemerintah? Tidak, sebab yang mengetahui wilayah rawan bencana adalah kita sebagai warga yang menempati wilayah tersebut. Pemerintah mungkin mengetahui daerah rawan bencana dan memiliki tim analisis, tapi tidak semuanya bisa dipantau setiap hari. Patut diingat, itu bukanlah sebagai senjata warga untuk menyerang pemerintah karena lalai.

Selayaknya kita sebagai masyarakat bisa mengetahui dan menganalisis wilayah rawan bencana di mana kita tinggal. Contohnya banjir yang menerjang Gedebage, banyak warga yang menyalahkan pemerintah atas bencana alam ini. Padahal, warganya sendiri tidak sadar Pasar Gedebage masih terdapat kawasan yang tidak tertata rapih.

Ada dua hal yang menjadi penyebab banjir tersebut terjadi, yaitu kondisi wilayah yang rendah dan pembangunan komplek perumahan. Kondisi wilayah rendah dan ditambah tumpukan sampah yang ada di pinggir jalan menjadi penyebab banjir terjadi. Selain itu, saluran air yang ada masih belum maksimal. Karena lebarnya masih kecil membuat aliran air menjadi sedikit tersumbat.

Pembangunan komplek di kawasan Gedebage juga menjadi polemik. Bayangkan saja dataran rendah dibangun perumahan, bagaimana aliran air mau berjalan maksimal? Sebab, air akan mengalir secara maksimal ketika saluran irigasi dibuat dengan baik tanpa hambatan. Apabila banyak warga yang telah tinggal di komplek tersebut, sampah semakin bertambah. Bahkan, bisa menimbulkan banjir lebih dahsyat lagi.

Mengingat Pepatah

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, Rafani Achyar, berharap Ridwan Kamil selaku Walikota Bandung beserta seluruh masyarakat harus introspeksi diri. Patutnya pernyataan Rafani bisa diterima dan dijadikan bahan pelajaran agar tidak acuh menjaga lingkungan.

Banjir yang menerjang selama ini bisa saja karena kita tidak peduli terhadap lingkungan yang diciptakan Tuhan secara indah ini. Bencana banjir tersebut menjadi peringatan untuk kita agar menjaga alam yang telah diciptakan-Nya untuk anak dan cucu kita nanti.

Muhasabah tersebut terasa penting. Kita mulai lupa dengan nilai-nilai agama yang telah kita pelajari sejak kecil. Sikap peduli dan gotong royong patut kita tanamkan dalam diri sekarang. Kita sering mendengar pepatah “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman.” Pepatah tersebut selalu didengungkan oleh guru, orang tua, bahkan teman saat kita lupa membuang sampah pada tempatnya. Terlepas dari agama apapun. Meskipun begitu, masyakat jarang mempraktekannya.

Pepatah tersebut bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Meskipun singkat, namun memiliki makna mendalam. Perkataan yang berada di otak kita sejak menjadi anak-anak. Maukah kita dianggap anak kecil lagi yang masih terus diingatkan?
(ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER