Ketika Pentas Itu Bernama Payung Hitam

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 21 Des 2016 16:27 WIB
Kesadaran pada tanah leluhur itulah membuat Teater Payung Hitam, Bandung, membela tanah airnya dengan kebaruan seni pikiran di dalamnya.
Ilustrasi (Foto: Ryan.brownell/Wikipedia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Seni tonil pada fakta tutur telah ada sejak tumbuhnya manusia Nusantara dan kebudayaan di tradisi-tradisi. Berkembang pada kini, pada ragam pesona nenek moyang, pada gerak tubuh dan suara, pada suara digerakan tubuh, maka, manusia modern mengenalnya sebagai Seni Pertunjukan.

Apa sih Seni Pertunjukan, mendadak kesenian dengan stempel modern, menjadi repot dan kedodoran pada istilah-istilah di luar alasan keilmuan purba nenek moyang, logis, akal, tak arogan tanpa maklumat sakral. Hal itu tak terjadi pada tradisi literer dan tutur, tumbuh, esensial pada bumi pemberi hidup.

Ronggeng Gunung, Jaran Kepang, Reog, Babad Sastra Tutur, menjadi kitab-kitab adab sopan santun, di syair ke-norma-an, di sana lahir sebuah Nusantara, belum Indonesia kini, mempesona ragam tata krama 'non-memaki atau non-marah', hanya ada santun indah seperti 17.800 lebih pulaunya. Kaya, tak sekadar pencitraan politis, pada dasi di setrika licin, meski tak juga gagah dibandingkan dengan keindahan Tato Nias, keren.

Seperti estetisnya Ulos Batak, Toraja, Bulu Merak digagahnya Suku Dayak Kalimantan, Bulu burung warna-warni di pulau ujung Nusantara, ada Papua, Lombok, Sumatera, Jawa, Bali dan keindahan kepulauan budaya leluhur purba berkilometer keluasannya. Berbaris, berkelok di antara natur lautan, tempat langit berkaca, meneteskan hujan, pada tetumbuhan, hutan-hutan, entah, kini tersisa berapa hektar dari sekian juta hektar, luasnya hutan negeri ini.

Tumbuhlah peradaban di sana di pulau-pulau. Tumbuhlah kebudayaan besar Nusantara. Tumbuhlah ekosistem kultural sosio humanis di bentangan “Ilmu Kebudayaan”. Lahirlah sebuah Bangsa dari ke-multi-an perilaku budaya, tanpa stigma, paradigma diakalkan, tanpa illegal logging, tanpa pembakaran hutan, demi sepotong industri hitam pembalak hutan merugikan lingkungan besar nenek moyang untuk cucu-cucunya.

Kesadaran pada tanah leluhur itulah, Teater Payung Hitam, Bandung, pimpinan Rachman Sabur, tumbuh di era 1970an, dengan kesadaran penuh, bahwa ini Indonesia Tanah Leluhur, harus dibela dengan cara apapun, tak takut dia pada mati, pada perutnya, pada lapar, pada peluru, pada tank baja, pada hempasan kekuasaan, pelarangan, sensor, di era pola politik praktis “sensor-isme politis”, di dekade sejarah negeri ini.

Meski telah beberapa kali melihat pentas lakon “Merah Bolong” Teater Payung Hitam, senantiasa ada kebaruan seni pikiran terkandung di dalamnya, tak sekadar seni drama asal eksentrik biar dibilang seni kekontemporeran atawa asal keren, terpuruk terjebak istilah.

Beberapa waktu lalu pada bulan Agustus 11 – 13, 2015, Teater Payung Hitam, Bandung, menyumbangkan karya pentas “Merah Bolong”, di Post Festival Pasca IKJ, Teater Luwes di Jakarta.

Dengan segenap pengalamannya, di ajang Festival Internasional manca negara dan network-Festival di lokal negeri. “Merah Bolong”, salah satu masterpiece, dari sejumlah karya Teater Payung Hitam, pada peranannya di ranah Teater Tubuh atau Physical Theatre.

Teater Payung Hitam, bukan reportase mengantar publik pada tanda baca kesenian di media. Pertunjukannya, senantiasa realitas logis gravitasi pada pemaknaan tubuh mengalirkan kata metafisis ke-materi atau sebaliknya, maka kisah menjadi paparan imaji menjelaskan materi di logisnya natural.

Batu-batu besar (Benda sebagai aktor) bergelantungan, digerakkan tubuh aktor, menggerakkan pikiran, alam besar menggerakkan alam kecil dan sebaliknya. Mengingatkan pemirsa pada diri kebudayaan nusantara kaya ragam pesona budaya dipelukan Ibu Negeri.

Terasa ada ragam pesona silat, tutur tubuh dalam aroma pantun jenaka para pujangga lama berkesinambungan menuju pujangga baru, esai susastra tubuh para ronggeng mengalun ombak rampak alunan dendang melayu, tubuh terus memberi makna pada pikiran bahwa negerimu ini indah nian tak terperi damai bersaluang, manortor dalam simfoni suluk negeri. Indahnya damai di negeriku kini, lalu dan akan datang, sebuah harapan dalam zikir khusuk senantiasa.

Terasa metafisika tak menjadi persoalan perdebatan tanpa batas dianggap non-logis. Justru tampak nyata ketika gravitasi membentuk gerakan kesadaran tubuh, mengendalikan pikiran, bertemulah materi dialogis. Seakan tak ada pertentangaan dunia materi dan metafisis, meski, barangkali masih di pertentangkan akal, terbatas di ranah teori filosofis. Bergulat tarik menarik pendapat keilmuan, meski tak sama persis dengan tarik ulur politik kepentingan.

Keakhiran dari tujuan pentas Teater Payung Hitam, bukan pada kritik sempit, pada adab, atau, perilaku metafisis pada materi atau sebaliknya, tapi, mendudukan adab tatanan laku santun pada alam, penciptaan, humanis kekuasaan manusia sebagai objek, pelaku “Ilmu Kebudayaan”, Ibu dari Geo-keilmuan di dalamnya. “Merah Bolong”, bukan karya kritik sempit, seperti pada politisasi politik, kini.

Teater Payung Hitam, dan karya “Merah Bolong”, menawarkan kebijaksanaan mandiri, bagi pelaku hidup, individual atau kelompok. Bahwa individu menuju kelompok sosialnya membentuk kesadaran mandiri, tegak, berjalan dan berlari di ranah gravitasi Planet Bumi, bukan semata spiritualitas non-logis. Bagi “Merah Bolong”, spiritualitas adalah kehidupan semesta bersama, di tengah penciptaan. Salam Indonesia Damai Nusantara. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER