Jakarta, CNN Indonesia -- Anda mungkin tak menyangka, kesenian Burdah yang merupakan Qasidah berisi syair tentang pujian, sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, ternyata juga dilestarikan oleh masyarakat di Bali. Sejak ratusan tahun silam, kesenian tradisi muslim Timur Tengah ini, masih bertahan dan dapat anda jumpai di perkampungan muslim Bali, yang ada di Buleleng.
Di berbagai negeri Islam, baik di negeri Arab maupun Non-Arab ada majelis-majelis khusus untuk pembacaan Burdah. Tak henti-hentinya Muslimin di seluruh penjuru dunia, menjadikannya sebagai luapan kerinduan pada Nabi. Burdah bukan sekedar karya, ia dibaca karena keindahan kata-katanya. Lalu bagaimana di Buleleng, Bali?
Salah satu yang masih melestarikan Burdah adalah Muhammad Hasan Sagir. Pria kelahiran Pegayaman Buleleng tahun 1932 ini masih senang memainkan rebananya untuk melantunkan syair-syair Burdah.
Meski tak lagi muda, Tepukan rebana oleh kedua telapak tangannya masih lantang terdengar, dan tersaji harmonis dengan lantunan syair yang terucap. Ia melakukannya di sela-sela aktivitasnya berkebun. Istri dan anak-anaknya terlihat begitu menikmati melihat dan mendengar saat ia me-Burdah. Tak heran, karena Qashidah Burdah memang selalu didengungkan oleh para pecintanya setiap saat.
"Saya sudah mengenal Burdah, kira-kira sejak umur 20 tahun. Sudah 6 guru jadi tempat saya belajar. Sampai sekarang, saya masih hapal setiap ayat yang dilantunkan", ungkap Muhammad Hasan Sagir.
Jika diamati, Burdah di Desa Pegayaman ini tampak berbeda dengan yang biasanya. Lantunan setiap syairnya, memiliki kesamaan dengan Kidung Bali. Uniknya lagi, para anggota Sekaa (kelompok) Burdah ini, seluruhnya menggunakan busana khas Bali.
Bersama Sekaa Burdah Burak, Muhammad Hasan Sagir masih mengedepankan tradisi Muslim Timur Tengah berakulturasi dengan budaya Bali. Namun, hingga saat ini masih belum ada pengakuan dan catatan sejarah yang menyebutkan kapan hadirnya kesenian Burdah di desa, yang mayoritas warganya menganut agama Islam ini. Warga percaya Burdah sudah hadir di Bali sejak ratusan tahun silam, saat itu Buleleng menjadi dermaga terbesar Nusa Bali untuk kapal-kapal pedagang bangsa asing.
Burdah tak hanya indah syair-syairnya, tapi juga menjadi doa yang bermanfaat pada jiwa. Tak heran jika banyak ulama yang memberikan catatan khusus tentang Burdah. Sayangnya, banyak karya Burdah yang tak diketahui lagi siapa pengarangnya.
(ded/ded)