Jakarta, CNN Indonesia -- Ruangan Bandara ini terasa berputar perlahan. Benar-benar tak bisa mengangkat kakiku selangkah pun. Sungguh, ingin pergi dari tempat ini. Segera berlari secepat-cepatnya.
Ruangan terasa berputar semakin cepat namun secara perlahan nyaris tak terasa, ruangan Bandara ini jungkir balik berkali-kali. Aku tetap berdiri, tidak ikut berputar bersama ruangan ini.
Gejala apa ini. Apa ini disebut penyakit parkinson atau serangan stroke awal, atau sejenisnya, serangan penyakit parkinson dini.
Jantung tidak berdebar, tidak berdegup seperti biasanya, masih merasakan kehidupan di sekitarku. Visual kesibukan orang-orang di Bandara ini, berputar pelahan namun terasa mulai semakin cepat, ruang menjadi blur, aku seperti menjauh. Sungguh tak dapat dipercaya, jantungku benar-benar tak berdetak.
Tapi aku masih hidup, tetap berdiri, memandang orang-orang lalu lalang di Bandara ini. Mereka seperti tak melihatku, mereka simpang siur melewati diriku tetap berdiri, melekat pada lantai Bandara ini. Tak ada suara apapun, sunyi, hanya visual seperti zaman film bisu Charlie Chaplin, saat itu aku belum dilahirkan.
“Ohoi!” Kataku. Tak ada gema dari suaraku, hanya dapat mendengar dengan jelas suaraku. “Ahoi!” Kataku sekali lagi. Terjadi lagi seperti tadi. “Yahui!” Kataku agak keras namun ragu-ragu. Hasilnya sama.
“Hiaaachh!” Aku mulai berteriak, sama saja hasilnya. Ruang tetap berputar cepat, orang-orang tetap saling-silang melewatiku. “Beng! Beng!” Suaraku menirukan bunyi senjata, mengacungkan tangan kanan seperti senjata. “Beng! Hihihi” Muram. Sarkastis dan tolol, aku. Hasilnya tetap sama. Orang-orang di Bandara ini sungguh tak melihatku.
“Akh! Aku tak percaya. Ahoi!” Teriak benakku. Aku angkat kopor, sejak tadi berada dalam genggaman tangan kiriku. Sial! Juga tak mau terangkat. Kopor itu juga melekat di lantai, tak dapat aku angkat, niatku kopor ini akan aku lemparkan kepada orang-orang lalu-lalang melewatiku, agar mereka mau menoleh, sedikit saja.
“He He he…Hua Ha Ha” Aku tertawa terbahak-bahak, sampai buang angin alias kentut. Sungguh kejam hidup ini, menoleh sedikit saja orang-orang itu tak mau. Sampai lelah tertawa mereka tetap tak perduli. Jantungku tak terganggu. Tetap tak berdetak. Tubuhku tak terasa lemas atau letih akibat tertawa.
“Huh! Huh! Tolonglah… Jiwaku melolong dalam hati, aku setengah dongkol tapi tak ingin marah dan terus menangis seperti ini... Huk! Huk! Hih! Apa maunya sih, sungguh aku tak mengerti. Aku tak ingin bernasib gila seperti ini. Aku tak ingin di sini, aku ingin pergi dari sini. Aku mau pulang saja. Tega deh. Apa sih maksud semua ini?” Terus menangis sejadinya sesuka hatiku.
“Oh! Celaka mati, celaka duka, aku mau pulang… “ Aku menangis nih, terus mengulangi kalimat itu, terus menerus, berkali-kali, seperti doa untuk keselamatan, aku terus mengucapkan kalimat itu. Tak juga ada perubahan, tak juga ada tanda-tanda kakiku bisa terangkat dari lantai biadab ini.
“Dasar kau lantai kurang pendidikan! Berani menawan kakiku.” Kalimat itu keluar dari mulutku seperti regulasi harga promo super mal dalam warna-warni harga cabai dan bawang terus meroket, tetap tabah dalam doa, tafakur. “Tenangkan dirimu.” Kata suara di benakku.
Aku bukan Peter Pan, selalu gembira, bisa keluar masuk lorong waktu, mendadak berada di Paris atau New York. Aku tak tahu lagi siapa diriku. Di ruang koridor Bandara ini, terus berputar-putar seperti bianglala, namun tetap statis berdiri tegak, kaki tetap melekat di lantai ini.
Sunyi? Pergi sana, bersama visual orang-orang berseliweran simpang siur, seperti bercermin di air, bila tersentuh airnya bergelombang gambaranku terpantul ada tiada bak fatamorgana.
Lagi aku merasakan dentuman keras, seperti menghantam Bandara ini, getarannya keras sekali, terasa mengguncang ruangan Bandara, terus berputar, seperti dalam kendali instalasi waktu, stabil dalam putaran cepat.
Suara aneh seperti jet supersonik memecah sunyi. Kini aku mulai lega, dapat mendengar semua suara di Bandara ini seperti awal tadi. “Ho Ho…Aku dapat mendengar suara-suara lagi… “ Sangat lega campur gembira teruntai di kepala seperti keluar lewat ubun-ubun Edgar Allan Poe.
(ded/ded)