Jakarta, CNN Indonesia -- Guncangan menggetarkan amat kuat. Gelegar di luar sana, bintang-bintang di semesta pecah tak pernah terdengar hingga bumi. Perdebatan di antara alam raya masih terus berlangsung.
Lop melintas cepat memburu Win sahabatnya lebih dahulu melesat menuju bintang timur, tampak mati dari sisi lintang selatan. Win tampak di kejauhan, melambaikan tangan pada Lop, meminta Lop menyusul lebih cepat. “Bagaimana caranya dia punya kecepatan sekerjab mata melesat jauh?” Tanya Lop di sukmanya.
“Ayolah sobat! Kau bilang dirimu lelaki tulen. Berani bertaruh segala. Hayo! Siapa lebih cepat.” Suara Win berteriak menggema menggelombang, suaranya bersentuhan dengan frekuensi alam raya. “Baiklah kalau mau gila-gilaan,” sukma Lop lagi. “Aku dengar suara di sukmamu.“
"Hah! Benar-benar gila kau Win.” Lop sebenarnya juga heran banget, kenapa dia bisa mendengar kalimat Win, sebelum dikatakan.
“Baiklah aku simpan dulu keheranan tak cerdas ini. Semua hal bisa mungkin…” sukma Lop lagi. Entah bagaimana caranya Lop juga tak paham, ketika dia baru berniat akan melakukan sesuatu, langsung terjadi begitu saja. Seperti sekarang Lop melesat cepat telah berdampingan dengan Win. Keduanya saling menoleh. Masing-masing menyimpan keheranan tak terkatakan.
“Mau kemana kita?" Keduanya bersuara bersamaan.
“Win, kau tak merasakan keanehan?” tanya Lop.
“Buat apa dibahas, aku tahu, pura-pura tak tahu saja, beres,” jawab Win Acuh tak acuh.
“Ya tuan pragmatisme. Jangan sombong begitu…”
Dua sahabat itu kerap saling menyebalkan, tapi jangan coba-coba salah satu disakiti oleh siapapun, pasti salah satunya akan membela sampai darah terakhir. Apa lagi ada manusia alien menghina tanah negerinya, mati pun mereka mau bela negara.
“Bung! Jangan bergunjing di sini, aku mendengar kalian menghina negeriku, ini negerimu juga kan?”
Bam! Terdengar keras bantingan tubuh di atas lantai di warung itu. Lop, menggeram. Win segera melompat, mencegah Lop, membentak ketiga orang alien itu.
“Pergi! Sebelum aku hisap ubun-ubun kalian sampai kering. Minggat!” Bentak Win, menggetarkan seisi warung makan. Ketiga alien itu melompat lari lintang-pukang. Lop, meredakan amuknya.
“Ya. Itu kejadian paling bodoh. Tinggal di negeriku, negeri mereka juga, cari makan di sini, hidup di sini, masih juga tak mensyukuri hidupnya. Kalau tak kau cegah. Aku lumatkan kepala ketiga begundal alien bego itu sampai nol.” Lop, berdesir dadanya mengingat peristiwa itu. Dia sudah tak ingin melayani alien bodoh penghina negerinya. Tapi jiwa kesatria Lop tak bisa menerima hinaan itu.
Win menoleh dengan senyum menyebalkan Lop. “Berikan saja senyum gilamu pada Ichchie…”
Suara Lop datar dan dingin. “Wow! Tak terpikir olehmu, di mana Ichchie dan Navtikha…”
Keduanya saling menoleh. “Gila amat kita! Ayo cari mereka..” Kedunya saling menatap tajam, serentak keduanya. “Kemana?”
Keduanya berhenti sejenak di angkasa, tepat di depan supermoon. Keduanya memandang bumi, di kejauhan kilometer dari ketinggian itu. “Cintaku ada di sana…” Serentak suara mereka. Serentak keduanya menukik ke bumi. “Stop!” Suara Win. Lop mengurangi kecepatan. “Aku tahu maksudmu…” Suara Lop datar. “Nah. Apa mungkin mereka masih di sana?” Suara Win.
“Mereka juga sedang mencari kita.” Lop meyakinkan. “Pasti?” Kata Win. “Ya.” Kata Lop tegas. Keduanya masih berhenti di depan supermoon, agak jauh sedikit dari jarak berhenti mereka tadi. “Kau paham mengapa kita bisa seperti ini?”
Ada keterasingan dari suara Lop. Win lantas saja memotong cepat. “Tuan kalkulus. Jika semua hal kau anggap seperti hitunganmu, tak ketemu ujungnya, kuadrat pangkat dua belum tentu genap. Bisa ganjil tahu!” Win melesat cepat meninggalkan Lop.
“Hei!” Suara Lop, melesat menyusul Win. Lop berdialog dengan Win, mencoba dengan frekuensi ritme nurani sukma.
“Masih juga kau sangsikan. Aku bilang kuadrat pangkat dua belum tentu genap. Ganjil atau genap serba mungkin. Pythagoras, menemukan makna rumus ruangnya sambil duduk tafakur di ranjang melihat lantai rumahnya asimetris hitam putih…” ujar Win ngeledek sembari ngakak.
“Apa bedanya dengan hitungan imajiner kuatummu, alfa itu sesungguhnya bagian akhir bukan awalan tahu… Itu teori gunung es terbalik ha ha ha…” Lop ngakak, tetap menguji dialek dari nurani sukmanya.
Win menyergap cepat dengan suara lebih ngeledek menyebalkan. “Kau tak paham juga. Aku bisa mendengar kalimatmu tanpa kau ucapkan, frekuensi itu menunggangi nilai lompatan kuantum sampai kepadaku tuan kalkulus! Hihihi…”
“Tuan-tuan nyebelin!” Teriakan nyaring seakan dari balik super moon, kesilauan Lop dan Win tak segera menangkap makna dua sosok transparan dari kejauhan itu. Kedua tubuh transparan itu menyenandungkan lirik akhir sebuah lagu…
We can be Heroes
We can be Heroes
We can be Heroes
Just for one day
We can be Heroes
“Heroes… David Bowie… Kalian kah itu?” Lantas saja suara burung cerewet itu menyambar telinga keduanya “Tuan kalkulus dan tuan pragmatisme… kalian masih saja berdebat… Nih kami pelorotin para penghina negeri kita, tuh liat mereka masih ngumpet di semak-semak taman takut berdiri…xixixixi… Nih celana bau mereka…”. Suara keduanya serentak, melempar celana di ruang hampa melayang-layang.
“Kami mau pergi…” Sebelum kalimat mereka selesai Lop dan Win serentak. “Cinta?” Lop akan bertanya sesuatu. Win segera menyela. “Stop!”
(ded/ded)