Jakarta, CNN Indonesia -- “Siapa! Menepuk dada. Aku demonstran! Ngomong sekarang. Itu kawah. Saksi kehidupan jagad raya. Gila kalian. Bangga jadi demonstran. Berjuang nggak usah ngoceh sana sini. Diam. Bergerak. Bermanfaat. Bertujuan humanis. Itu komitmen! Tidak usah bersuara banyak!”
Zan, menyesal kepada kalimatnya. Membahana. Ketika di puncak gunung itu. Di depan tiga sobatnya. Memecah api unggun mendadak membesar seketika itu.
Tak layak dia mengucapkan itu, menyesali, di puncak ketinggian pendakian. Lantaran kekesalan pada kealpaan tak akal budi sebagaimana komitmen pergerakan juang zamannya kala itu.
Tak ada satupun bisa meredakan amuk selain diri sendiri. Di puncak gunung ini. Tempatnya mengolah pikiran-pikiran, kontemplatif, kembali kepada alam raya, mau mendengarkan keinginannya. Ke tujuan cita-citanya untuk negeri tercinta.
“Tidak mungkin. Tidak boleh jadi. Tidak bisa.” Gema suara di puncak Gunung itu. Dia tidak paham, mengapa mereka tidak berpihak pada nurani masyarakat. Apa sulit memahami keinginan, tak perlu modal besar omong kosong. Dengarkan suara nurani masyarakat secara seksama.
Untuk apa jadi pendaki jika tak bisa mengendalikan kebijaksanaan diri sendiri, tak bisa mendengar kemauan akar ilalang, pepohonan bahkan langit sekalipun. Lonjakan kehidupan melewati lini garis merah bergerak terus, pasang surut. Akibat tekanan hegemoni.
Sendiri. Muskil. Hari berikutnya. Puncak gunung, malam terasa asing bagi Zan, seakan ruang tidak bernama, suasana belum pernah dirasakan sebelumnya. Ada semacam hening aneh, namun terngiang di telinga segala rampak heroik menghadapi kekuatan tembok kokoh.
Keteguhan. Kepercayaan, membulat kesatuan gerakan sebagai manusia terdidik, wajib memberi manfaat untuk bangsa dan negerinya. Tapi, tidak sarkastis, anarkis dan agitasi arogansi.
Muncul. Mendadak. Menyusul. “Pakai otakmu!” Suara di antara api unggun. Keduanya berpelukan salam perjuangan. “Kabut setebal ini kau mendaki.” Zan lirih. Simpati dan kagum.
Senyap. Api unggun mengeluarkan desis. “Demo minggu lalu. Keputusan kami bertiga. Maafkan. Rawan konflik di sel-sel kurir. Kampus disusupi sistem intern-ekstern pada titik rawan, awan-awan mengidap depresi utama.” Suara Djoar, gusar dan tertekan.
Zan berdiri. Lalu duduk berhadapan. “Kita turun menjelang subuh. Istirahatlah. Galang demonstrasi lanjutan.” Dialog itu direkam langit. Keduanya tetap duduk di depan bara api, dingin menusuk tulang, cuaca tidak bersahabat. Keduanya menarik nafas dalam sekali. Lalu hening.
Beberapa waktu lampau. Benar. Zan tak bisa turun saat terjadi chaos demonstrasi minggu lalu. Kabut amat tebal. Hujan luar biasa hebat, saat itu. Tiga sahabat tidak mungkin meninggalkan kampus rawan konflik.
Tak mungkin terhubung. Zan di puncak gunung itu, gerakan kampus tak bisa menunggu. Demonstrasi kehilangan control leadership. Bentrokan dahsyat di area tujuan. Anarkisme meledak. Senjata menyalak. Molotov meledak. Gas air mata menghujam. Kendaraan lapis baja menjadi barisan. Derap menjadi rawan. Demonstran mundur.
Beberapa hari. Setelah chaos itu. Zan di evakuasi dari puncak dialogis, dari ketinggian gunung itu dalam keadaan lemah. Zan beku oleh suhu dingin gunung musim penghujan. Segera dirawat. Zan selamat dengan catatan, hanya hidup dengan satu paru-paru dan beberapa jari kaki di amputasi.
Dia Zan, tetap berjuang setia di komitmen diri. Reka kekuatan. Rapat darurat di Rumah Sakit. Persiapan gerakan berikutnya. Demonstrasi lanjutan. Tak ada korban jiwa dari pihak manapun.
Zan menuju pendakian, meski daya fisiknya menurun, namun Djoar tidak membiarkan Zan ke pendakian sendirian lagi. Kembali berdialog. Kontemplatif. Mendekat pada kearifan tunggal, pemberi kekuatan.
Hymne alma mater. Mengalun ke angkasa, menulis puisi-puisi ketafakuran. Negerinya terasa semakin menjadi magnet kekuatan juang. Zan dan tiga sahabat, hanya titik dari nilai besar cita-cita masyarakat menegakkan kemaslahatan kehidupan setara di negerinya.
Perkabungan bermakna nyala lentera gunung semakin terang hingga kelangit ketujuh. Almamater menyuarakan air mata kekuatan kehidupan juang pahlawan. Kedua sahabat itu dimakamkan di sisi pahlawan sebelumnya.
Bunga-bunga masih segar menyelimuti sosok tak terbantahkan, idealisme cita-cita negerinya terpendam bersama komitmen anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Suaranya masih menggema dari dalam kubur untuk negeri terus mengibarkan bendera.
Bendera-bendera di tancapkan di makam juang para demonstran. Suara mereka tak pernah wafat. Suara mereka tak pernah musnah. Menggema bersama hymne alma mater.
Zan pernah bilang, “…arti sebuah negeri, tidak boleh lelah berjuang seperti melepas angin dari genggaman. Ada cara lebih bijak menuju arah menjadi manusia sekaligus melebur diri menjadi negeri. Intelektualitas. Komitmen. Kontekstual dan berani jujur.”
Sahabat telah menjadi kenangan tertulis di sejarah alma mater. Sahabat lainnya menjadi mega-mega di hembus angin peradaban kehilangan arah mata kompas.