Cerpen: Pesan Ayah

CNN Indonesia
Minggu, 04 Jun 2017 14:31 WIB
Salvo kehormatan militer mengiringi upacara pemakaman. Ayah, tetap ada di hati kami.
Ilustrasi (Foto: PublicDomainPictures/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kakak tertidur di meja belajar. Aku baca diam-diam tulisan di buku itu hari ini. Tergeletak di di meja Kakak, di sampingnya.

“Zola ayo lempar bola!” Aku menangkap bola lemparan Ayah. Tawa Ayah berderai, bola itu mengenai pundakku hehehe aku terpeleset tidak siap. Aku pun tertawa riang.

“Kalau mau jadi tentara harus selalu siap loh.” Suara Ayah dalam tawa, terasa tegas dan selalu menghargai sesama dan keluarga penuh kasih.

“Ayo! Komandan! Makanan siap di meja.” Suara Bunda kepada Ayah dan aku. “Kakak, letakkan penamu. Ayo! Makan dulu!” Suara Bunda pada kakak di atas ayunan dari ban bekas buatan Ayah di hari minggu ini.

“Kalau mau jadi jurnalis harus selalu sehat dan tetap tidak boleh telat makan.” Suara Ayah setelah memimpin doa makan. Kakak seperti biasanya hanya senyum, itu jawaban khas bahwa dia gembira dan setuju.

Rumah sepi jika pagi. Kami tinggal di asrama Korp-Komando. Ayah sangat sederhana dan tegas. Lahir dari keluarga tentara. Nenek kami penyanyi keroncong keturunan Tionghoa. Keluarga Ayah sangat menghargai toleransi budaya dan agama.

Keluarga Bude Tan (bude: tante/bibi), adik perempuan Ayah, Katolik yang taat. “Hahaha. Zola, benar kau akan jadi tentara? Sama dong kita,” Suara Giok, anak tertua dari bude Tan.

Kekek menikah dengan Nenek, tetap dengan keyakinan masing-masing. Hanya memiliki dua anak. Setelah kelahiran Ayah, lima tahun kemudian rahim nenek diangkat ada gangguan kesehatan, cerita Ayah pada kami.

Ayah anak pertama, masuk pendidikan militer atas kemauan sendiri, setelah menyelesaikan kuliah kedokteran. Atas prestasi luar biasa Ayah menerima bintang penghargaan dari negara, dan memimpin detasemen khusus-penelitian medis dan nuklir.

Sekaligus bertugas memimpin Korps-Komando ini. Keluarga kami bahagia sebagaimana adanya. Ayah bertemu dengan Bunda saat keduanya masih kuliah kedokteran. Bunda keturunan Jerman, dari keluarga muslim, Kakek dan Nenek dari Bunda muslim, atas keinginan sendiri Nenek menjadi muslim.

Bunda, meneruskan karier hingga kini setia sebagai dokter gigi. Menurut Ayah sulit menaklukan Bunda kala itu. Ayah bersaing ketat untuk memenangkan etape marathon itu.

“Hahaha.” Aku ngakak pada kisah, saat Ayah datang menjemput Bunda, ternyata dijemput oleh pesaing Ayah dari fakultas teknik. “Gondok sih. Tapi Ayah tidak putus asa. Ayah rajin menabung untuk mengejar prestasi di kampus. Dengan cara itu Ayah jadi pemenang.”

Kisah sederhana itu, memicu aku dan Kakak untuk terus meraih prestasi di sekolah. Kami keluarga tentara, wajib menghargai fasilitas apapun dari negara. Cukup dan senantiasa mensyukuri dalam doa bahagia.

Satu dua tahun lagi pendidikan di Akademi Militer, selesai. Kakak, tengah menempuh sarjana tiga di Universitas Kedokteran di Jawa Barat dan tetap menjadi penulis kritik seni dan sastra di segani.

“Siap! Calon komandan. Ayo! Berangkat. Ayah menunggu dengan setia.” Suara Ibunda masih seperti dulu, bahagia dan optimis itu tak pernah luntur dari dirinya. Ayah bagi Bunda, pemimpin sejati, setia dan teguh pada keluarga dan abdi negara.

“Tidak ada akhir dari kisah kehidupan. Jika pengabdian untuk masyarakat dijalankan dengan tulus. Satu anak Ayah akan jadi guru besar kelak di bidang medis dan nuklir. Satu akan jadi komandan militer kelak. Lakukan segala tugas apapun itu dengan hati di iman mu.” Suara Ayah. Beberapa waktu sebelum wafat.

Salvo kehormatan militer mengiringi upacara pemakaman. Ayah, tetap ada di hati kami.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER