Sumedang, CNN Indonesia -- “Jangankan kamu hidup. Kamu mati pun anak-anakmu akan diberi makan. Semut dan hewan pun juga diberi makan,” kata Sunardi berkata sambil memotong kayu.
Pria berusia 44 tahun asal Kampung Manjah Beureum Cileunyi Wetan ini merupakan korban PHK (Pemberhentian Hak Kerja) yang mampu bangkit kembali dengan menjadi seniman babarongan reak.
Awalnya ia adalah seorang karyawan perusahaan kesenian di Cipacing. Namun pada tahun 1997, dirinya terkena PHK dan membuatnya memilih untuk memulai usaha. Warung pinggir jalan di Jakarta adalah saksi bisu Sunardi dalam memulai usaha.
“Kalau malam ada yang suka malak, atau pernah saya ditodong dengan pisau dapur,” tutur Sunardi seraya memeragakan gerakan memotong leher.
Di awal perjalanan usahanya, Sunardi membuat kerajinan wayang golek, dibantu oleh beberapa karyawannya. Namun, produksi wayang golek miliknya tak bertahan lama, karena mahalnya bahan baku dan rendahnya harga jual. Hambatan itu pun tidak lantas membuat Sunardi hilang akal untuk terus melakukan produksi.
Ia beralih ke produksi panah tradisional. Usahanya kali ini dapat dibilang cukup sukses, dengan 40 karyawan yang dimilikinya. Ia juga sempat mengikuti beberapa pameran kerajinan, di antaranya adalah BUMN Expo dan Ina Craft di Jakarta Convention Center dan Taman Mini.
Sayang, kesuksesan tersebut tak bertahan lama. Sama nasibnya dengan kerajinan wayang golek, semakin lama Sumardi tidak dapat memenuhi permintaan pasar dengan harga bahan baku yang terus meningkat.
Tidak jauh-jauh dari dunia seni, Sunardi kini menggeluti usaha babarongan reak. Kerajinan babarongan reak adalah sejenis barong milik suku Sunda yang sejenis dengan reog dari Ponorogo dan reak dari Bali. Menurutnya, belum banyak pengrajin babarongan reak dibanding dengan pengrajin wayang golek maupun panah tradisional.
Di kawasan Jatinangor, babarongan reak menjadi kesenian yang paling diminati dibandingkan dengan kuda renggong, orodiong, dan sisingaan.
“Kerasukan menjadi daya tarik dan memiliki nilai seni tersendiri dalam babarongan reak,” tutur Satya Santana selaku Sekjen Dewan Kesenian Kecamatan Jatinangor dan pengurus Relawan Perubahan Jatinangor.
Namun, usaha yang dirintis Sunardi dalam melestarikan kebudayaan juga tidak berjalan mulus. Ada beberapa kendala dan hambatan yang dihadapi. Secara modal, Sunardi tidak mengalami kendala yang berarti, karena ia memanfaatkan limbah untuk membuat produknya.
“Bapak menggunakan limbah untuk reaknya, mulai dari kayu yang diambil dari belakang rumah, karung goni dan karung gula untuk pengganti kainnya” tutur Sunardi sambil tersenyum dan mengangkat kayu alba sebagai bahan baku produksi.
Sunardi memasarkan produknya ke Bandung Raya, Garut, Subang dan Sumedang secara pribadi melalui kenalan yang dimilikinya. Bentuk pemasaran ini dirasa kurang maksimal, karena ia merasa terbatasi. Hal yang disayangkan olehnya adalah ketidakadaan paguyuban maupun perserikatan pengrajin reak yang mampu menaungi pengrajin seperti dirinya. Selain itu, permasalahan pasar dan keharusan berhadapan dengan tengkulak juga menurunkan nilai jual kerajinan yang dibuat selama ini.
Sembari memotong kayu dengan balutan busana hitam-hitam khas Sunda, Sunardi mengatakan, “Kami sebagai pengrajin kecil tidak butuh bantuan uang tunai dari pemerintah, karena kami tidak bisa me-manage dengan baik. Hal yang kami butuhkan adalah pelatihan usaha dan manajemen yang benar.”
Di sisi lain, Sunardi juga berharap pemerintah dapat membantu menstabilkan nilai jual kerajinan seni ukir.
“Pada kenyataannya ada tiga bulan dalam setahun di mana penjualan kita menurun drastis, yaitu pada bulan Mei sampai Juli. Penurunan ini yang diharap bisa diantisipasi oleh pemerintah untuk menjaga keberlangsungan usaha pengrajin kecil,” tutur Sunardi yang sibuk memegang kapak sembari memotong kayu.
Produk Sunardi dipasarkan dengan kisaran 15 sampai 600 ribu untuk topeng babarongan reak, sedang untuk dog-dog atau kendang dipasarkan dengan harga 40 sampai 600 ribu perbuahnya. Adapun penghasilan yang didapat Sunardi setiap bulannya berkisar dua sampai enam juta. Baginya, penghasilan ini cukup untuk menghidupi istri dan keenam anaknya.
Satu kalimat yang terlontar dari bibirnya sembari membuat topeng reak. “Bagi saya yang penting bisa makan hari ini, kalau kebanyakan harta akan mementingkan dunia,” ucap Sunardi sambil tersenyum.
Menurutnya, cukup bukanlah masalah harta, tapi bagaimana kita bersyukur. Saat bersyukur semua akan dirasa cukup. Sunardi menambahkan, dirinya tidak merasa memiliki pesaing, karena di daerah Cileunyi Wetan hanya dia yang menjadi pengrajin babarongan reak. Untuk pembelinya sendiri, ia lebih terfokus kepada anak kecil dan perorangan.
“Jumlah pelaku seni babarongan reak lebih banyak anak muda, di Jatinangor sendiri jika dihitung berdasarkan rukun warga, setiap rukun warga memiliki dua kelompok bahkan lebih. Rata-rata usianya adalah 13 sampai 20 tahun, kalau dipresentasikan sekitar 80 persen dari jumlah anggota kelompok,” tutur Ketua Lingskung Sunda Cikeruh Jatinangor, Uus Kuswandi.
Keinginan lain milik Sunardi adalah dapat membuat produk rumahan yang baik, yang memiliki nilai jual dan mampu bersaing baik tingkat Nasional maupun Internasional. “Saya ingin mengangkat seni ukir Indonesia, setidaknya berjaya di tingkat nasional,” tegas Sunardi di antara potongan kayu sebagai bahan produksi babarongan reak.
“Jumlah pengrajin babarongan reak di Jatinangor sendiri masih minim, berbanding terbalik dengan pelaku seninya. Karena untuk dapat membuat kesenian ini dibutuhkan keahlian lebih dan butuh waktu yang cukup lama,” ucap Uus Kuswandi di ruang kerja Sekjen Seni Budaya Kecamatan Jatinangor. Jatinangor sendiri memiliki sentra pembuatan kesenian babarongan reak di Desa Cipacing.
Ada sekitar 200 kesenian musik yang diproduksi di Desa Cipacing, yang sudah ada sejak tahun 40-an. Hampir setiap kepala keluarga di Cipacing adalah pengrajin, mulai dari alat musik hingga senjata tradisional. Bagi masyarakat Cipacing, “Melestarikan budaya adalah hal yang penting bagi kami masyarakat Desa Cipacing, karena ini sudah menjadi ciri khas dan penunjang ekonomi masyarakat Desa Cipacing,” tutur Hendrik, pengurus perhimpunan pengrajin Desa Cipacing.
“Sebetulnya sempat drop, dengan adanya mesin cetak patung dari Jerman, cuman masukin kayu, sepuluh menit jadi patung. Akan tetapi memang gak bisa sama kayak buatan tangan,” kata Sunardi.
Saat ini Sunardi kekurangan karyawan, sehingga kesulitan untuk memenuhi pesanan, ucap pria kelahiran Cileunyi ini yang tetap menggeluti usahanya.
“Di Cileunyi Wetan memang tidak banyak pemuda, sehingga sedikit sulit bagi Sunardi untuk mendapat karyawan, pemuda disini juga mudah bosan terhadap pekerjaan,” ujar Een selaku istri dari Ketua RT 2 Kampung Manjah Beureum.
Maksud untuk melestarikan kebudayaan dan keinginan untuk mengangkat seni ukir di Indonesia menjadi motivasi besar Sunardi untuk bertahan menekuni usaha yang digelutinya.