Manajemen Kolektif, untuk Mengangkat Pamor Band Indie

CNN Indonesia
Selasa, 04 Jul 2017 10:53 WIB
Mengenal manajemen kolektif, salah satu upaya untuk mempopulerkan dan mengangkat musik indie di Indonesia.
Mocca, salah satu band yang berkiprah lewat jalur indie. Kini ada manajemen kolektif yang dibangun untuk mengangkat pamor band indie. (Foto: Adhi Wicaksono/CNN Indonesia)
Bandung, CNN Indonesia -- Pernah dengar istilah manajemen kolektif? Jika belum, gunakan mesin pencari Google untuk mengetahuinya. Ada? Pasti.

Saat mencari soal manajemen kolektif pastilah yang muncul di Google tentang Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dibentuk berlandaskan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. LKMN ini dibentuk untuk membantu melindungi Hak Cipta dalam bentuk menghimpun dan mendistibusikan royalti.

Sebenarnya, bukan manajemen kolektif dalam konteks itu yang akan dibahas. Istilah manajemen kolektif menjadi awam ketika konteksnya mengenai semangat untuk mengembangkan eksistensi musik indie.

Seperti yang diketahui, musik indie berasal dari kata independent yang memiliki artian berdiri sendiri atau biasa dikenal tanpa label. Musisi atau band seperti The S.I.G.I.T, Danilla, dan Mocca pun memilih karier dengan jalur indie. Jadi, manajemen kolektif ini tidak berhubungan dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional.

Menurut Eggy Resa, pendiri Mulyono, salah satu pelaku manajemen kolektif di Bandung, istilah manajemen kolektif pun masih kurang akrab di telinga musisi maupun penikmat musik indie. “Kami lebih sering menyebutnya microgigs atau pergerakan independen yang dibuat di setiap tempat untuk mendukung eksistensi musisi-musisi indie,” ujar Eggy.

Pergerakan manajemen kolektif pun beraneka ragam. Menurut Eggy, paling sering dilakukan adalah para penikmat dan musisi indie melakukan udunan atau memberikan uang secara sukarela untuk membuat event musik semacam di kampus maupun cafe. Tujuannya jelas, mempromosikan musisi atau band indie tersebut.

“Tujuannya biar mereka dapat job setelah mengadakan konser begitu. Mulyono yang bisa dibilang manajemen kolektif inilah yang membantu untuk mempromosikannya. Paling mudah ya lewat publikasi selain materi seperti uang dan alat-alat. Walaupun sebenarnya kami belum pernah menyatakan diri sebagai manajemen kolektif,” ujar Eggy.

Hal senada dikatakan Marcus, pendiri Senang senang, yang pergerakannya tak jauh berbeda dengan Mulyono. “Intinya, manajemen kolektif atau apapun istilahnya ini kami lakukan untuk semakin menaikkan lagi pamor indie,” ujar Marcus.

Tercatat hingga saat ini, ada ratusan band indie baik di Bandung maupun luar Bandung yang mendaftarkan diri ke Mulyono untuk dibantu mengadakan event agar band mereka bisa manggung. Salah satu band yang bergabung di Mulyono adalah Drizzle, band bentukan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB).

Taufik, salah satu personel band Drizzle pun mengakui bahwa bandnya terbantu dengan terbentuknya Mulyono dan Senang senang ini. “Jelas ngebantu karena ini semacam wadah biar band indie bisa dipromosikan. Saya pribadi pun pernah dipanggil manggung karena abis tampil di acara yang dibikin Mulyono. Bahkan, di Medan pun setahu saya, ada pembentukan yang mirip dengan Mulyono setelah beberapa bulan Mulyono hadir,” ujar Taufik.

Musik indie yang bebas menjadi alternatif bagi kalangan muda khususnya pecinta musik untuk berkarya. Manajemen kolektif diharapkan mampu menjadi wadah bagi kalangan muda untuk menyalurkan karyanya tersebut.

Dengan adanya manajemen kolektif, band-band indie yang baru terbentuk pun tak perlu risau lagi untuk melakukan peluncuran dan branding. Ke depannya, eksistensi band dan musisi indie pun tak kalah jika disandingkan dengan band dan musisi yang berlabel. Semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya dan meramaikan kancah musik Tanah Air.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER